Tahun 1976, sepasang suami istri sedang melangkahkan kaki, keluar dari
sebuah stasiun kereta api. Mereka baru saja tiba dari Jakarta. Dua
minggu yang lalu, mereka belum membayangkan ada di tempat mereka berdiri
saat ini.
Ketika ketua yayasan tempat sang suami melayani mengatakan bahwa si suami telah diangkat menjadi koordinator pelayanan misi yayasan tersebut, bukan kegembiraan atau sukacita besar yang terluap, namun kegalauan yang luar biasa. Setelah berita itu dikabarkan kepadanya, dia pulang tanpa semangat lalu menceritakan semua itu kepada istrinya.
"Ke mana kamu pergi, aku ikut." Hanya itu yang dikatakan istrinya saat suami meminta izin untuk tidak menerima keputusan yayasan tersebut kepada istrinya.
Sang suami dalam pergumulan berat. Yang dia tahu, dia membawa serta istrinya ke Jakarta bukan untuk menjadi seorang pegawai kantoran. Yang dia tahu akan pangilan Tuhan bagi dirinya adalah pergi ke sebuah tempat yang belum terjamah oleh Injil dan membangun gereja Tuhan di sana.
"Pak, saya minta ditempatkan di lapangan saja. Saat ini, panggilan bagi saya bukanlah duduk di belakang meja," kata sang suami kepada ketua yayasan.
Ketua yayasan membujuk untuk tetap menerima jabatan tersebut. Namun, dengan mantap pula si suami tetap menolak. Dua minggu kemudian, mereka pun diberangkatkan ke ujung timur pulau Jawa.
Saat ini mereka termangu di stasiun kereta. Entah mau ke mana. Tidak ada sanak saudara, tidak ada kenalan. Rencananya, mereka akan mencari penginapan terlebih dahulu, namun ternyata tidak ada satu pun penginapan di dekat stasiun, sedangkan hari sudah malam.
Mereka berjalan perlahan keluar dari stasiun. Istrinya yang kurus tetap tegak melangkahkan kaki kecilnya mengikuti langkah mantap sang suami.
Sudah lelah. Mereka pun berhenti di depan sebuah rumah. Malam sudah larut. Karena capai, sang suami memutuskan berhenti sejenak agar sang istri dapat beristirahat.
Sebuah motor perlahan mendekat. Dilihatnya kedua orang yang terlalu capai itu.
"Mau ke mana, Pak?" tanya sang pengendara motor yang telah mematikan mesin motornya.
"Hanya beristirahat sebentar, Pak," jelas si suami. "Kami mau ke daerah Genteng, tapi sudah tidak ada bis, jadinya kami jalan saja sambil mencari penginapan. Tapi nampaknya tidak ada."
"Oh, iya, di daerah sini memang tidak ada penginapan, Pak," jelas pengendara motor. "Penginapan adanya, ya di Genteng itu. Masih jauh Pak, kalau mau jalan kaki."
"Waduh, bagaimana ya?" komentar si suami.
"Menginap di rumah saya saja, Pak," kata si pengendara motor.
"Wah, terima kasih banyak, Pak," jawab si suami nyaris melompat-lompat. "Masih, jauh Pak, rumahnya?"
"Oh, tidak. Anda berdiri tepat di depan rumah saya, kok," senyum si pengendara motor. "Mari silakan masuk, istri Anda sudah terlihat sangat lelah."
"Puji Tuhan, terima kasih banyak, Pak," kata si suami dengan bibir bergetar.
Dari rumah itulah pasangan suami istri tersebut memulai pelayanan mereka. Walau hanya semalam, mereka sempat mengabarkan Kabar Baik kepada si pemilik rumah.
Keesokan harinya, mereka meninggalkan rumah tersebut. Berbekal sedikit uang jalan dari yayasan mereka pun menyewa sebuah penginapan dan mencari kamar kontrakan.
Berhari-hari tanpa hasil. Uang untuk membayar penginapan dan makan sudah hampir habis, sampai akhirnya mereka mendapatkan sebuah rumah yang hanya dihuni oleh seorang nenek. Ada sebuah kamar kosong yang sebenarnya tidak disewakan. Namun, saat suami istri ini mencari kamar kontrakan, si nenek segera menawarkan kamar di rumahnya. Rumahnya tidak bagus, hanya berdindingkan "gedhek". Namun, suami istri ini bersyukur karena ada tempat yang Tuhan sediakan untuk memulai pelayanan mereka. Nenek tidak menentukan uang sewa yang harus mereka bayar, seberapa saja boleh. Sebagian besar sisa uang yang mereka miliki pun diberikan kepada nenek. Jumlahnya tidak banyak. Si suami berjanji dalam hati, saat uang bulanan dari kantor datang, dia akan membayar lebih.
Dari rumah itu suami istri tersebut mulai berjalan kaki dari rumah ke rumah, pasar ke pasar, ladang ke ladang, untuk mencari jiwa bagi Tuhan.
Tanpa terasa, hampir satu tahun berlalu. Belum ada gereja, namun selama pelayanan tersebut, Tuhan memakai mereka menjangkau banyak jiwa. Ada empat orang petobat baru yang Tuhan izinkan untuk mereka muridkan.
Empat orang petobat baru tersebut mereka beri pelajaran dan pemahaman Alkitab. Mereka dididik pula untuk menjadi penginjil yang kelak akan meneruskan pelayanan yang telah dirintis ke berbagai pelosok desa di ujung timur pulau Jawa tersebut.
Satu hal yang menjadi pemikiran suami istri ini adalah, ketika keempat orang tersebut terbeban untuk dikader menjadi penginjil, mereka meninggalkan pekerjaan mereka sehari-hari sebagai petani maupun pedagang keliling untuk mengikuti pelajaran yang diberikan suami istri ini dan turut pula terjun di lapangan. Lalu, bagaimana mereka mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari? Sebenarnya tidak ada keluhan dari keempat orang yang mereka muridkan tersebut. Namun, tetap saja suami istri ini memikirkan hal tersebut.
Surat pun dilayangkan kepada pengurus yayasan, sekiranya keempat orang yang mereka muridkan ini dapat pula menerima berkat dari yayasan. Sambil menunggu kabar dari pengurus yayasan, suami istri ini pun memutuskan untuk membagi berkat bulanan mereka dengan keempat orang tersebut.
Saat itu, awal tahun 1977, mereka mendapatkan uang Rp 25.000 setiap bulan dari pengurus yayasan. Uang sebesar itu pun dibagi menjadi lima. Itu berarti keempat orang yang mereka muridkan mendapat uang Rp 5.000 setiap bulannya, sama besarnya dengan jumlah yang didapatkan suami istri tersebut. Mulai sejak saat itu, pasangan suami istri itu pun hidup berhemat. Jika dulu mereka bisa makan nasi, mereka pun beralih ke bubur, nasi jagung, atau tiwul. Lauk pun seadanya. Jika tidak ada lauk, mereka cukup makan dengan bubur sambal dan sayur genjer yang diambil istri dari sawah-sawah penduduk sekitar. Berbulan-bulan lamanya keadaan tetap seperti itu karena tidak ada kabar apapun pula dari pengurus yayasan mengenai usulan mereka untuk memberikan uang bulanan kepada empat orang yang telah menjadi penginjil. Si istri pun semakin kurus dan sering sakit. Pernah mereka berdua hampir menyerah karena pergumulan akan kebutuhan hidup sehari-hari, ditambah lagi kebutuhan pelayanan. Mereka merasa yayasan sungguh tidak memedulikan kesulitan mereka di sana. Namun, Tuhan tidak tinggal diam. Meskipun dalam kesulitan, Tuhan tetap menghibur dan menguatkan. Ketaatan akan panggilan Tuhan memang diuji dan mereka ingin memenangkan ujian tersebut. Sesakit apapun, mereka dan empat orang murid rohani mereka, memutuskan untuk tetap taat pada panggilan Tuhan. Tuhan terus membuka jalan bagi penginjilan di ujung timur pulau Jawa tersebut. Semakin banyak jiwa dimenangkan, termasuk nenek yang menyediakan kamar untuk mereka sewa dan rumah untuk dijadikan tempat persekutuan.
Akhir tahun 1977, pihak yayasan memanggil suami istri ini untuk kembali ke Jakarta. Keadaan mendesak di kantor pusat membuat mereka harus meninggalkan tempat pelayanan itu. Empat orang penginjil baru yang telah berhasil dimuridkan pun telah siap untuk meneruskan perintisan di daerah tersebut. Dengan berat hati suami istri ini memutuskan untuk bersedia meninggalkan ujung timur pulau Jawa tersebut, ditambah lagi masih ada rasa kecewa terhadap yayasan yang seolah menutup mata akan kesulitan hidup mereka selama di lapangan. Namun, Tuhan memberikan tanda kepada mereka, bahwa cukup sudah pelayanan mereka di ujung timur pulau Jawa tersebut. Tuhan menyediakan pekerja-pekerja-Nya yang lain untuk meneruskan pelayanan mereka. Tuhan juga melembutkan hati mereka untuk memaafkan pihak yayasan.
Bertahun-tahun kemudian, sepasang suami istri ini telah menjadi orang tua dari empat orang anak dan tetap melayani Tuhan. Setiap ada kesempatan untuk pergi ke ujung timur pulau Jawa tersebut, mereka membawa serta anak-anaknya. Mereka tinggal di rumah nenek dan di kamar kecil yang mereka sewa ketika berada di sana. Mereka ingin anak-anaknya juga melihat pekerjaan Tuhan yang luar biasa di ujung timur pulau Jawa tersebut.
"Kenapa Papa senang mengajak kami liburan ke sini?" tanyaku kepada si suami yang sedang bersiap-siap lagi mengajak anak-anaknya mengunjungi sebuah gereja dari sekian banyak gereja yang telah masuk jadwal kunjungannya.
"Karena Tuhan membuat 5000 rupiah menjadi lebih dari lima ribu jiwa! Karena dari dua menjadi empat kali lima ribu jiwa!" Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku waktu mendengar jawabannya saat itu. Bukan mengerti maksudnya, namun otak kecilku tidak mampu memahami apa yang dimaksudnya.
Namun, sekarang setiap mendengar cerita si istri mengenai perintisan ujung timur pulau Jawa itu, aku tidak lagi mengangguk-anggukkan kepalaku. Aku hanya dapat termangu sambil berkata dalam hati, "Terpujilah Tuhan!"
Ketika ketua yayasan tempat sang suami melayani mengatakan bahwa si suami telah diangkat menjadi koordinator pelayanan misi yayasan tersebut, bukan kegembiraan atau sukacita besar yang terluap, namun kegalauan yang luar biasa. Setelah berita itu dikabarkan kepadanya, dia pulang tanpa semangat lalu menceritakan semua itu kepada istrinya.
"Ke mana kamu pergi, aku ikut." Hanya itu yang dikatakan istrinya saat suami meminta izin untuk tidak menerima keputusan yayasan tersebut kepada istrinya.
Sang suami dalam pergumulan berat. Yang dia tahu, dia membawa serta istrinya ke Jakarta bukan untuk menjadi seorang pegawai kantoran. Yang dia tahu akan pangilan Tuhan bagi dirinya adalah pergi ke sebuah tempat yang belum terjamah oleh Injil dan membangun gereja Tuhan di sana.
"Pak, saya minta ditempatkan di lapangan saja. Saat ini, panggilan bagi saya bukanlah duduk di belakang meja," kata sang suami kepada ketua yayasan.
Ketua yayasan membujuk untuk tetap menerima jabatan tersebut. Namun, dengan mantap pula si suami tetap menolak. Dua minggu kemudian, mereka pun diberangkatkan ke ujung timur pulau Jawa.
Saat ini mereka termangu di stasiun kereta. Entah mau ke mana. Tidak ada sanak saudara, tidak ada kenalan. Rencananya, mereka akan mencari penginapan terlebih dahulu, namun ternyata tidak ada satu pun penginapan di dekat stasiun, sedangkan hari sudah malam.
Mereka berjalan perlahan keluar dari stasiun. Istrinya yang kurus tetap tegak melangkahkan kaki kecilnya mengikuti langkah mantap sang suami.
Sudah lelah. Mereka pun berhenti di depan sebuah rumah. Malam sudah larut. Karena capai, sang suami memutuskan berhenti sejenak agar sang istri dapat beristirahat.
Sebuah motor perlahan mendekat. Dilihatnya kedua orang yang terlalu capai itu.
"Mau ke mana, Pak?" tanya sang pengendara motor yang telah mematikan mesin motornya.
"Hanya beristirahat sebentar, Pak," jelas si suami. "Kami mau ke daerah Genteng, tapi sudah tidak ada bis, jadinya kami jalan saja sambil mencari penginapan. Tapi nampaknya tidak ada."
"Oh, iya, di daerah sini memang tidak ada penginapan, Pak," jelas pengendara motor. "Penginapan adanya, ya di Genteng itu. Masih jauh Pak, kalau mau jalan kaki."
"Waduh, bagaimana ya?" komentar si suami.
"Menginap di rumah saya saja, Pak," kata si pengendara motor.
"Wah, terima kasih banyak, Pak," jawab si suami nyaris melompat-lompat. "Masih, jauh Pak, rumahnya?"
"Oh, tidak. Anda berdiri tepat di depan rumah saya, kok," senyum si pengendara motor. "Mari silakan masuk, istri Anda sudah terlihat sangat lelah."
"Puji Tuhan, terima kasih banyak, Pak," kata si suami dengan bibir bergetar.
Dari rumah itulah pasangan suami istri tersebut memulai pelayanan mereka. Walau hanya semalam, mereka sempat mengabarkan Kabar Baik kepada si pemilik rumah.
Keesokan harinya, mereka meninggalkan rumah tersebut. Berbekal sedikit uang jalan dari yayasan mereka pun menyewa sebuah penginapan dan mencari kamar kontrakan.
Berhari-hari tanpa hasil. Uang untuk membayar penginapan dan makan sudah hampir habis, sampai akhirnya mereka mendapatkan sebuah rumah yang hanya dihuni oleh seorang nenek. Ada sebuah kamar kosong yang sebenarnya tidak disewakan. Namun, saat suami istri ini mencari kamar kontrakan, si nenek segera menawarkan kamar di rumahnya. Rumahnya tidak bagus, hanya berdindingkan "gedhek". Namun, suami istri ini bersyukur karena ada tempat yang Tuhan sediakan untuk memulai pelayanan mereka. Nenek tidak menentukan uang sewa yang harus mereka bayar, seberapa saja boleh. Sebagian besar sisa uang yang mereka miliki pun diberikan kepada nenek. Jumlahnya tidak banyak. Si suami berjanji dalam hati, saat uang bulanan dari kantor datang, dia akan membayar lebih.
Dari rumah itu suami istri tersebut mulai berjalan kaki dari rumah ke rumah, pasar ke pasar, ladang ke ladang, untuk mencari jiwa bagi Tuhan.
Tanpa terasa, hampir satu tahun berlalu. Belum ada gereja, namun selama pelayanan tersebut, Tuhan memakai mereka menjangkau banyak jiwa. Ada empat orang petobat baru yang Tuhan izinkan untuk mereka muridkan.
Empat orang petobat baru tersebut mereka beri pelajaran dan pemahaman Alkitab. Mereka dididik pula untuk menjadi penginjil yang kelak akan meneruskan pelayanan yang telah dirintis ke berbagai pelosok desa di ujung timur pulau Jawa tersebut.
Satu hal yang menjadi pemikiran suami istri ini adalah, ketika keempat orang tersebut terbeban untuk dikader menjadi penginjil, mereka meninggalkan pekerjaan mereka sehari-hari sebagai petani maupun pedagang keliling untuk mengikuti pelajaran yang diberikan suami istri ini dan turut pula terjun di lapangan. Lalu, bagaimana mereka mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari? Sebenarnya tidak ada keluhan dari keempat orang yang mereka muridkan tersebut. Namun, tetap saja suami istri ini memikirkan hal tersebut.
Surat pun dilayangkan kepada pengurus yayasan, sekiranya keempat orang yang mereka muridkan ini dapat pula menerima berkat dari yayasan. Sambil menunggu kabar dari pengurus yayasan, suami istri ini pun memutuskan untuk membagi berkat bulanan mereka dengan keempat orang tersebut.
Saat itu, awal tahun 1977, mereka mendapatkan uang Rp 25.000 setiap bulan dari pengurus yayasan. Uang sebesar itu pun dibagi menjadi lima. Itu berarti keempat orang yang mereka muridkan mendapat uang Rp 5.000 setiap bulannya, sama besarnya dengan jumlah yang didapatkan suami istri tersebut. Mulai sejak saat itu, pasangan suami istri itu pun hidup berhemat. Jika dulu mereka bisa makan nasi, mereka pun beralih ke bubur, nasi jagung, atau tiwul. Lauk pun seadanya. Jika tidak ada lauk, mereka cukup makan dengan bubur sambal dan sayur genjer yang diambil istri dari sawah-sawah penduduk sekitar. Berbulan-bulan lamanya keadaan tetap seperti itu karena tidak ada kabar apapun pula dari pengurus yayasan mengenai usulan mereka untuk memberikan uang bulanan kepada empat orang yang telah menjadi penginjil. Si istri pun semakin kurus dan sering sakit. Pernah mereka berdua hampir menyerah karena pergumulan akan kebutuhan hidup sehari-hari, ditambah lagi kebutuhan pelayanan. Mereka merasa yayasan sungguh tidak memedulikan kesulitan mereka di sana. Namun, Tuhan tidak tinggal diam. Meskipun dalam kesulitan, Tuhan tetap menghibur dan menguatkan. Ketaatan akan panggilan Tuhan memang diuji dan mereka ingin memenangkan ujian tersebut. Sesakit apapun, mereka dan empat orang murid rohani mereka, memutuskan untuk tetap taat pada panggilan Tuhan. Tuhan terus membuka jalan bagi penginjilan di ujung timur pulau Jawa tersebut. Semakin banyak jiwa dimenangkan, termasuk nenek yang menyediakan kamar untuk mereka sewa dan rumah untuk dijadikan tempat persekutuan.
Akhir tahun 1977, pihak yayasan memanggil suami istri ini untuk kembali ke Jakarta. Keadaan mendesak di kantor pusat membuat mereka harus meninggalkan tempat pelayanan itu. Empat orang penginjil baru yang telah berhasil dimuridkan pun telah siap untuk meneruskan perintisan di daerah tersebut. Dengan berat hati suami istri ini memutuskan untuk bersedia meninggalkan ujung timur pulau Jawa tersebut, ditambah lagi masih ada rasa kecewa terhadap yayasan yang seolah menutup mata akan kesulitan hidup mereka selama di lapangan. Namun, Tuhan memberikan tanda kepada mereka, bahwa cukup sudah pelayanan mereka di ujung timur pulau Jawa tersebut. Tuhan menyediakan pekerja-pekerja-Nya yang lain untuk meneruskan pelayanan mereka. Tuhan juga melembutkan hati mereka untuk memaafkan pihak yayasan.
Bertahun-tahun kemudian, sepasang suami istri ini telah menjadi orang tua dari empat orang anak dan tetap melayani Tuhan. Setiap ada kesempatan untuk pergi ke ujung timur pulau Jawa tersebut, mereka membawa serta anak-anaknya. Mereka tinggal di rumah nenek dan di kamar kecil yang mereka sewa ketika berada di sana. Mereka ingin anak-anaknya juga melihat pekerjaan Tuhan yang luar biasa di ujung timur pulau Jawa tersebut.
"Kenapa Papa senang mengajak kami liburan ke sini?" tanyaku kepada si suami yang sedang bersiap-siap lagi mengajak anak-anaknya mengunjungi sebuah gereja dari sekian banyak gereja yang telah masuk jadwal kunjungannya.
"Karena Tuhan membuat 5000 rupiah menjadi lebih dari lima ribu jiwa! Karena dari dua menjadi empat kali lima ribu jiwa!" Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku waktu mendengar jawabannya saat itu. Bukan mengerti maksudnya, namun otak kecilku tidak mampu memahami apa yang dimaksudnya.
Namun, sekarang setiap mendengar cerita si istri mengenai perintisan ujung timur pulau Jawa itu, aku tidak lagi mengangguk-anggukkan kepalaku. Aku hanya dapat termangu sambil berkata dalam hati, "Terpujilah Tuhan!"