07.36
Adalah
seorang tukang sepatu yang bernama Martin Avdeich, dia tinggal di satu
apartemen bawah tanah dengan satu jendela kecil. Dari jendela itulah dia
bisa melihat orang yang lalu lalang dari kakinya. Martin yang karena
pekerjaannya sebagai tukang sepatu, tidaklah sulit buat dia mengenali
orang yang lalu lalang itu dari sepatu yang dipakainya. Martin adalah
pekerja keras, dia tidak pernah menipu pelanggannya, dia selalu
menggunakan bahan terpilih untuk membuat sepatu, dia juga selalu tepat
janji, pendek kata Martin selain pekerja keras juga pekerja yang baik.
Martin pernah mengalami kekecewaan dengan Tuhan saat istri dan
anak-anaknya meninggal, di tengah kekecewaannya dia pernah minta supaya
Tuhan juga memanggilnya, karena dia sudah tidak melihat arti hidupnya
ini. Di saat keadaan yang paling susah itulah dia bertemu orang yang
mengingatkan kalau Tuhan sudah memberinya hidup, dan mengingatkan Martin
bahwa hidupnya harus diberikan kepada Tuhan. Di tengah ketidak
mengertiannya dan usahanya bagaimana caranya memberikan hidup untuk
Tuhan, tiba-tiba dia bermimpi, mendengar suara Tuhan, "Martin ... Martin
.. berjaga-jagalah Aku akan datang ke tempatmu esok".
Besoknya
Martin menanti-nanti. Kadang-kadang ia berpikir suara itu hanya mimpi,
kadang-kadang ia meyakini ia benar-benar mendengar suara itu. Martin
duduk di samping jendelanya sambil bekerja. Tiap kali dia menatap ke
jalan menunggu Tuhan datang. Akhirnya dari jendelanya Martin melihat
orang berpakaian usang, dengan sepatu penuh jahitan dan sebuah sekop di
tangan. Dari sepatunya Martin tahu bahwa orang tua itu Stephanich, orang
miskin yang menumpang di rumah orang lain dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan kecil seperti membersihkan salju. Ia mulai
membersihkan salju di depan jendela Martin. Martin mengamati Stephanich
sampai Stepanich meletakkan sekop, dan kelihatan menggigil mencari
tempat istirahat dan berlindung dari hawa dingin. Orang tua ini
kelihatan sangat rapuh. Martin mengundangnya masuk. Stephanich begitu
gemetar sampai hampir jatuh waktu masuk. "Masuklah ke dalam dan aku
punya teh hangat," demikian seru Martin kepada Stepanich. Stepanich yang
ragu-ragu masuk ke rumahnya bertanya apakah Martin sedang menunggu
seseorang? Martin menjawab, "Saya sebenarnya malu untuk mengatakan pada
anda bahwa memang saya sedang menunggu Tuhan, seperti yang saya pahami
melalui Alkitab bahwa betapa betapa besar kasih Tuhan sampai Dia mau
turun ke bumi". Begitulah Martin bukan hanya memberikan teh tetapi juga
bagian makan siangnya yang sangat sederhana. Stephanich pamit dengan air
mata di pipi karena rasa terimakasihnya yang dalam.
Martin
menunggu lagi. Berbagai orang lewat lalu lalang. Tuhan belum juga
muncul. Sampai dilihatnya seorang wanita miskin dengan bayinya. Wanita
ini hanya berpakaian musim panas, wanita ini tidak punya uang untuk
menebus syal nya yang digadaikan. Martin bangkit dan memanggil wanita
itu untuk masuk kerumahnya. Martin menyambut wanita dan bayinya ini.
Memasak bubur untuk bayi itu dari persediaannya yang tipis dan
memberikan uang kepada wanita itu supaya ia bisa menebus syal yang dia
gadaikan untuk memberi makan bayinya. Ia juga memberikan satu-satunya
mantel cadangannya yang juga sudah tua dan benangnya yang sudah menipis.
Wanita miskin tersebut mengambil pemberian Martin dengan air mata yang
berlinang.
Martin, duduk lagi. Hari mulai sore. Dia makan sisa
makanan yang masih tersedia, bekerja lagi. Tapi dia tetap berkali-kali
memandang ke jalan. Menunggu dan menunggu datangnya Tuhan.
Tidak
lama seorang wanita tua penjual apel lewat. Punggungnya menggendong kayu
bakar, dan tangannya menjinjing keranjang dagangan yang hanya berisi
beberapa butir apel. Kayu bakarnya sangat berat sehingga ia berhenti,
membetulkan gendongannya. Ia meletakkan keranjangnya di tanah. Tiba-tiba
seorang anak laki-laki kecil lari dan mengambil beberapa apel. Tapi
nenek ini dengan cekatan menjambret baju anak itu.
Nenek itu menarik
rambut anak kecil itu dan berteriak akan membawa dia ke kantor polisi.
Martin meminta-minta agar si nenek tidak membawa anak itu ke polisi.
Martin akan membayar apelnya.
Akhirnya nenek melepaskan pegangannya
dan anak itu langsung melarikan diri. Martin menangkapnya dan berkata,
"Mintalah maaf kepada nenek itu, dan saya tidak ingin melihat engkau
mengambil apelnya lagi".
Anak itu minta maaf. Malahan dia menawarkan diri mengangkat kayu bakar si nenek. Mereka berjalan berdampingan.
Martin menunggu. Hari mulai malam. "Tampaknya hari sudah gelap", pikir
Martin. Dia membersihkan peralatannya. Menyalakan lampu. Mengambil
Alkitabnya. Dan dia merenung menantikan Tuhan. Tetapi sudah malam.,
apakah Tuhan masih akan datang?
Martin kembali merenung akan
mimpinya yang mendengar suara Tuhan, kalau Dia akan datang kerumahnya...
Tiba -tiba dia mengalami situasi yang sama dalam mimpinya, dia
mendengar lagi suara yang berkata di telinganya "Martin ... Martin,
apakah kamu tidak mengenal aku?"
"Siapa?" tanya Martin ,
"Aku", jawab suara itu. Di tengah kegelapan malam Martin melalui kaca jendelanya samar-samar melihat Stephanich yang tersenyum.
"Ini adalah Aku", terdengar ada suara itu lagi, dan Martin sama-samar melihat wanita tua dan bayinya dan lenyap.
"Ini adalah Aku", terdengar suara lagi, dan Martin samar-samar melihat wanita tua dan apelnya bersama dengan anak laki-laki.
Melihat itu jiwa Martin gembira karena dia teringat apa yang tertulis
di Alkitabnya, "Sebab pada waktu Aku lapar, kalian memberi Aku makan,
dan pada waktu Aku haus, kalian memberi Aku minum. Aku seorang asing,
kalian menerima Aku di rumahmu. Aku tidak berpakaian, kalian memberikan
Aku pakaian. Aku sakit, kalian merawat Aku. Aku dipenjarakan, kalian
menolong Aku."
Impian Martin menjadi kenyataan, Tuhan memang sudah
datang dan makan bersamanya hari itu. Martin akhirnya boleh mengerti,
"Ketahuilah: waktu kalian melakukan hal itu, sekalipun kepada salah
seorang dari saudara-saudara-Ku yang terhina, berarti kalian
melakukannya kepada-Ku."
Jikalau 2000 tahun yang lalu Tuhan
hadir ke dunia dalam bayi Jesus, saat ini Tuhan bisa hadir diantara kita
melalui orang -orang di sekitar kita, bukalah pintu hati kita, sama
seperti Martin Avdeich yang selalu menyambut hangat sesamanya.
Yesus
tidak meninggalkan kerajaan Allah di Sorga ketika Dia datang ke bumi.
Justru sebaliknya, Dia membawa kerajaan itu bersamaNya untuk
menghadirkannya di bumi. Jadi, jika Anda adalah orang yang percaya
kepada Yesus, pastikan juga bahwa kita juga merasakan kerajaan Allah di
bumi. Dan pastikan juga bahwa kita menghadirkan kerajaan Allah itu di
setiap aspek kehidupan kita.
Cerita ini diambil dari "Where Love Is, God Is" karangan Leo Tolstoy, 1885.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar