Senin, 17 Desember 2012

Pelaku Firman

Kisah nyata ini terjadi pada malam Natal, saat Perang Dunia I pada 1914, tepatnya di front perang bagian barat Eropa. Pada saat itu, tentara Perancis, Inggris, dan Jerman saling baku tembak. Pada malam Natal yang dingin dan gelap itu, hampir setiap prajurit merasa bosan dan muak dengan berperang, apalagi setelah berbulan-bulan mereka meninggalkan rumah mereka, jauh dari istri, anak, maupun orang tuanya.

Pada malam Natal, biasanya mereka berkumpul bersama seluruh anggota keluarga masing-masing, makan bersama, bahkan menyanyi bersama di bawah pohon terang di hadapan tungku api yang hangat.

Berbeda dengan malam Natal saat itu, di mana cuaca di luar sangat dingin dan salju pun turun dengan lebatnya, mereka bukannya berada di antara anggota keluarga yang mereka kasihi, malah berada di antara musuh yang setiap saat bersedia menembak mati siapa saja yang bergerak.

Tiada hadiah yang menunggu selain peluru dari senapan musuh, bahkan persediaan makanan pun berkurang jauh sehingga hari itu pun hampir seharian mereka belum makan. Pakaian basah kuyup karena turunnya salju. Biasanya, mereka berada di lingkungan dan suasana yang hangat dan bersih, tetapi kali ini mereka berada di dalam lubang parit, seperti layaknya seekor tikus, jangankan bisa mandi dan berpakaian bersih, tempat di mana mereka berada saat itu basah dan becek penuh dengan lumpur. Mereka menggigil kedinginan. Rasanya tiada keinginan yang lebih besar saat itu selain rasa damai untuk bisa berkumpul dengan orang-orang yang mereka kasihi.

Seorang tentara yang terkena tembakan merintih kesakitan, sedangkan tentara lainnya menggigil kedinginan, bahkan pemimpin mereka -- yang biasanya keras dan tegas -- entah mengapa pada malam itu tampak sangat sedih, terlihat air mata turun berlinang di pipinya, rupanya ia teringat akan istri dan bayinya yang baru berusia enam bulan. Kapankah perang akan berakhir? Kapankah mereka bisa pulang kembali ke rumah masing-masing? Kapankah mereka bisa kembali memeluk orang-orang yang mereka kasihi? Dan, sebuah pertanyaan besar pula, apakah mereka bisa pulang dengan selamat dan berkumpul kembali bersama istri dan anak-anaknya? Entahlah ....

Tak sepatah kata pun terdengar. Suasana malam yang gelap dan dingin terasa hening dan sepi sekali, masing-masing teringat dan memikirkan keluarganya masing-masing. Selama berjam-jam mereka duduk membisu. Tiba-tiba dari arah depan di front Jerman, cahaya kecil muncul dan bergoyang, cahaya tersebut tampak semakin nyata. Rupanya, seorang prajurit Jerman telah membuat pohon Natal kecil yang diangkat ke atas dari parit tempat persembunyian mereka sehingga tampak oleh seluruh prajurit di front tersebut.

Pada saat yang bersamaan, terdengar alunan lembut suara lagu "Stille Nacht, heilige Nacht" (Malam Kudus). Pada awalnya lagu tersebut hanya sayup-sayup terdengar, namun semakin lama, lagu yang dinyanyikan tersebut semakin jelas dan keras terdengar. Hal itu membuat para tentara yang mendengarnya merinding dan merasa pilu karena teringat akan anggota keluarganya yang berada jauh dari medan perang.

Ternyata seorang prajurit Jerman yang bernama Sprink yang menyanyikan lagu tersebut dengan suara yang sangat indah, jernih, dan merdu. Sebelum dikirim ke medan perang, prajurit Sprink adalah seorang penyanyi tenor opera yang terkenal. Rupanya, keheningan dan kegelapan suasana pada malam Natal itu telah mendorongnya untuk melepaskan emosi dengan menyanyikan lagu itu. Walaupun ia menyadari bahwa dengan menyanyikan lagu tersebut, prajurit musuh bisa mengetahui tempat persembunyian mereka.

Ia menyanyikan lagu Malam Kudus tersebut bukan di tempat persembunyianny­a, melainkan berdiri tegak, bahkan keluar dari persembunyianny­a sehingga dapat terlihat jelas oleh semua musuhnya. Melalui lagu tersebut, ia ingin menyampaikan kabar gembira sambil mengingatkan kembali makna Natal, yaitu berbagi rasa damai dan kasih. Untuk hal ini, ia bersedia mengorbankan jiwanya, ia bersedia mati ditembak oleh musuhnya. Namun apa yang terjadi, apakah ia ditembak mati?

Tidak! Entah mengapa, seakan-akan mukjizat terjadi, sebab pada saat yang bersamaan, semua prajurit yang berada di situ, satu demi satu keluar dari tempat persembunyianny­a masing-masing, dan mereka mulai menyanyikannya bersama. Bahkan, seorang tentara Inggris, musuh besar Jerman, turut mengiringi mereka menyanyi sambil meniup dua bagpipes (alat musik Skotlandia) yang dibawanya khusus ke medan perang. Dengan perasaan terharu, mereka turut menyanyikan lagu Malam Kudus. Hujan air mata tak dapat dibendung -- air mata mereka yang berada jauh dari orang tua, anak, calon istri, kakak, adik, dan sahabat mereka.

Tadinya lawan sekarang menjadi kawan. Sambil saling berpelukan, mereka menyanyikan lagu Malam Kudus dalam bahasa masing-masing. Perasaan damai dan sukacita benar-benar mereka rasakan. Setelah itu, mereka meneruskan menyanyi bersama lagu "Adeste Fideles" (Hai Mari Berhimpun). Mereka berhimpun bersama, tidak ada lagi perbedaan pangkat, derajat, usia, maupun bangsa, bahkan perasaan bermusuhan pun lenyap.

Mereka berhimpun bersama musuh mereka, yang seharusnya saling tembak, saling bunuh, namun dalam suasana Natal itu mereka bisa berkumpul dan menyembah, memperingati Sang Bayi, Sang Juru Selamat. Rupanya, inilah mukjizat Natal yang benar-benar membawa suasana damai di malam yang suci ini.

Doa:

Aku sangat berharap, kiranya melalui tulisan ini, kita dapat membagikan kasih dan kedamaian kepada orang lain, serta mengajak kita semua untuk merenungkan kembali makna Natal. Apabila di antara kita masih menyimpan luka batin, marilah kita mengambil kesempatan pada hari Natal ini untuk saling memaafkan dan mendoakan satu sama lain, dan biarlah damai Kristus bertakhta di hati kita.

"Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Matius 5:9).

Ya, Tuhan, Engkau menyinari malam suci ini

dengan cahaya damai-Mu.

Ajarilah kami untuk melihat kedamaian

yang seharusnya kami cari,

kedamaian yang seharusnya kami jaga,

dan kedamaian yang harus kami bagi.

Semoga hari ini dan setiap hari,

menjadi seperti hari Natal,

seperti Engkau mengilhami diri kami untuk membawa damai

dan pengampunan bagi semua orang yang kami jumpai.

Terima kasih untuk kelahiran-Mu di dunia ini Tuhan Yesus,

kelahiran-Mu membawa keajaiban bagi dunia ini

dan bagi hidup kami.

Segala pujian, hormat, dan syukur kami naikkan bagi-Mu,

Yesus Kristus, Sang Raja.

Amin.
Salam sukses n S̤̥̈̊є̲̣̥є̲̣̣̣̥♍ªªªηGªª†̥†̥̥
°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°♧♧°˚˚˚°
ĞŌĐ•O:)•(*)ßĹЄŠŠ(*)•O:)•¥ŌŬ †̥†̥̥ Uz

Rabu, 12 Desember 2012

Kasih Sayang Ibu

Ada seorang Ibu yang baru melahirkan di sebuah rumah sakit Bersalin. Sang ibu berkata "Bisa saya melihat bayi saya?". Ketika gendongan itu berpindah ketangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki mungil, sang ibu menahan nafasnya. Suaminya mendekati istri yang sempat kaget. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu ternyata terlahir tanpa kedua belah telinga!Sang ibu sangat shock ketika melihat anaknya lahir tanpa kedua telinga. Demikian juga sang ayah saat melihat anaknya yang baru lahir. “Bersabarlah Bapak dan Ibu, anak yang dilahirkan ini adalah anugerah yang sangat besar dari Yang Maha Kuasa. Saya yakin kelak anak ini memberikan kebahagian dan kesejukan hati kepada Bapak dan Ibu. Jagalah dan besarkanlah anak ini dengan penuh kasih sayang dari kalian berdua” Pesan dokter kepada suami istri. waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya saja penampilannya tampak aneh dan buruk.
Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya dipelukan sang ibu dan menangis terisak- isak.
"Tadi ada seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh," ujarnya. Mendengar penuturan anaknya, sang ibu merasa sedih dan sesak hatinya. Karena malunya dengan teman-teman sebayanya, sang anak tidak mau keluar rumah untuk bergaul.
Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Walau tidak memiliki daun telinga, ia cukup tampan dan disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya dibidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Dalam hati sang ibu merasa bangga dan juga kasihan dengan keadaan anaknya.

Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan daun telinga untuk putranya. "Saya yakin mampu sepasang daun telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka. Setelah di cari-cari belum juga menemukan yang bisa mendonorkan telinganya.
Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu kerumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kata sang ayah. Operasi berjalan dengan sukses. Dengan adanya telinga, maka ia semakin percaya diri. Bakat musiknya pun semakin hebat. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Ia sekarang menjadi sorotan bagi kaum wanita dengan penampilannya yang sempurna kini.

Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayah dan ibunya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya." Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini." sang ibu hanya tersenyum melihat anaknya.
Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal karena terserang kanker. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang yang terbujur kaku itu, lalu menyibakkan sehingga tampaklah bahwa sang ibu tidak memiliki telinga.
"Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya. Dengan alasan itu juga ia bisa mengorbankan telinganya untukmu,nak" bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?" Demi melihat dan mendengar ayahnya, sang anak hanya terdiam dan hanya terisak dengan kasih besar ibunya. Dengan masih menangis, sang anak lalu mengecup kening ibunya untuk yang terakhir kali.

Kaki Cerita
------------
Kisah di atas merupakan salah satu kebesaran jiwa seorang ibu. Sungguh besar pengorbanan dan kasih sayang seorang Ibu pada anaknya. Kasih Ibunya itu tidak terpatok pada sesuatu apapun jua. Pengorbanan dan kasih sayangnya pada anak dan keluarga begitu besar dan tidak dapat tergantikan dengan apapun. Kasih sayangnya, nasihatnya, dan motivasinya sungguh bermakna dan memberikan kesejukan pada anak dan keluarganya. Surga berada di telapak kaki ibu, merupakan ungkapan yang sangat indah untuk menggambarkan eksistensi seorang wanita yang telah berperan ganda dalam kehidupannya, yakni sebagai seorang Ibu dan istri yang selalu memberikan kesejukan, kedamaian, dan kebahagian pada keluarganya. Maka, hormatilah orang tua kita selama ia masih ada.

Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa dilihat, namun pada apa yang tidak terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.
Tuhan Yesus Memberkati

Sabtu, 08 Desember 2012

Rahasia Kebahagiaan Ada Pada Jiwa Bersyukur

Alkisah pada suatu senja temaram, tampak seorang perempuan cantik berusia empat puluhan, berpakaian indah dan santun, turun dari mobil mewah yang ditumpangi. Dengan wajah yang tidak bahagia, dia mendatangi rumah bibinya yang berada di pinggir kota, jauh dari keramaian.
Setelah melepas kangen, sambil menarik napas panjang, perempuan itu berkata, “Bibi. Setelah anak-anak besar, saya merasa kesepian dan tidak bahagia. Saya merasakan kehidupan yang hampa dan tidak bermakna lagi.”
Sambil tersenyum bijak, tanpa berkomentar sedikit pun si bibi memanggil seorang perempuan, yang bekerja sebagai pembantu harian di rumah itu.
“Mbak Anik. Ini keponakan ibu. Datang dari kota ingin mendengar kisah bahagia. Nah, tolong diceritakan, bagaimana caranya menemukan kebahagiaan?”
Anik duduk di kursi yang ada di dekat perempuan itu, lalu mulai bercerita dengan gaya bahasanya yang lugu dan sederhana. Suaranya jernih dan jelas.
“Begini, Non. Saya pernah punya suami dan anak. Tetapi, suami saya meninggal karena kanker. Celakanya, tiga bulan kemudian putra tunggal saya menyusul bapaknya, meninggal ditabrak truk. Saat itu, saya tidak punya siapa pun. Saya enggak bisa tidur, enggak enak makan, enggak bisa tersenyum apalagi tertawa. Tiap hari selalu ada waktu untuk menangisi nasib saya yang jelek ini. Saya bahkan berpikir mau bunuh diri saja.
Lalu suatu malam, waktu pulang kerja, seekor kucing mengikuti saya. Karena di luar dingin, saya membiarkan anak kucing itu masuk ke dalam rumah. Saya memberinya susu, yang langsung habis diminum. Anak kucing itu mengeong dan menggosok-gosokkan badannya ke kaki saya. Untuk pertama kalinya dalam bulan itu, saya bisa tersenyum.
Saya sendiri merasa keheranan, lalu berpikir, jika membantu seekor anak kucing saja bisa membuat saya tersenyum, mungkin melakukan sesuatu untuk orang lain bisa membuat saya bahagia. Jadi, hari berikutnya, saya membuat kue pisang dan memberikannya ke tetangga yang lagi sakit dan tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Dia sangat senang menerima pemberian saya dan kami pun sempat ngobrol dengan bahagia.
Setiap hari, saya mencoba berbuat baik, paling sedikit satu kali sehari berbuat baik. Karena yang saya rasakan, saat melihat orang lain bahagia, saya juga merasa bahagia. Hari ini, rasanya tidak ada orang yang bisa makan lahap dantidur pulas seperti saya. Saya menemukan kebahagiaan ketika bisa membahagiakan orang lain.”
Mendengar cerita Anik, sontak perempuan kaya itu menangis. Ia sadar, ia punya segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang, tapi dia kehilangan hal-hal yang tak bisa dibeli uang. Kekayaan yang dipunyai ternyata tidak mampu membuatnya bahagia.
Bukan kekayaan, bukan pula kedudukan dan materi yang mendatangkan kebahagiaan sejati. Tetapi jiwa bersyukurlah yang menjadi kunci pembuka kebahagiaan.
Syukur adalah magnet keberkahan! Dengan mensyukuri atas segala sesuatu yang telah kita miliki, maka kebahagiaan akan selalu mengalir di kehidupan kita. Sebaliknya jika kita tidak mampu menerima keadaan kita hari ini, sebagaimana adanya dan mensyukurinya, maka akan muncul “ketimpangan” batin. Akan terjadi gejolak ketidaknyamanan, ketidakbahagiaan, yang akan membawa kita pada penderitaan yang berkepanjangan.
Bisa bersyukur adalah “ilmu hidup” yang harus kita praktikkan. Kebahagiaan itu, bukan sekadar apa yang kita dapatkan, malah seringkali, mampu memberikan bantuan / pertolongan bagi orang yang memerlukan, dan hal itu pasti akan melahirkan kebahagiaan sejati yang alami.

Senin, 03 Desember 2012

Kebesaran Jiwa Seorang Ibu

Yabes begitu bangga dengan sosok ibunya yang memiliki Jiwa yang begtu besar. Dia mengenang di saat-saat dirinya dekat dengan ibunya sewaktu ia kecil hingga ia besar. Banyak yang Ibunya korbankan agar ia bisa menjadi anak yang kuat dan sehat bagi pertumbuhannya. Dan Karena kebesaran jiwa seorang ibu, Yabes menjadi seorang yang sukses. Kalau tanpa ibu, maka hidup Yabes tak seberuntung ini. Ada 7 kebesaran kasihnya yang Yabes alami dengan kebesaran kasih seorang ibu Sebelum ia pergi untuk selama-lamanya.

Kebesaran 1
Aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untuk aku, dikarenakan nasi yang dimasak hanya sedikit. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk aku, ibu berkata: “Makanlah nak, ibu tidak begitu lapar. Makan yang banyak agar kamu bisa cepat besar”. Untuk menambah gizi buat aku, ibu sering pergi ke sungai kecil guna mencari ikan. ibu berharap dari ikan ia dapat bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk pertumbuhan saya. Sepulang dari kolam, ibu segera memasak ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan ikan itu, ibu duduk di sampingku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hatiku juga tersentuh, lalu menggunakan sendokku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan daging ikan. Biar ibu makan kepala dan tulangnya yang garing ini”

Kebesaran yang ke 2
Saat aku sudah mulai bersekolah, ibu selalu bekerja tanpa mengenal waktu hanya karena untuk membiayai sekolahku. Ibu selalu bangun pagi-pagi sekali pergi kehutan untuk menyadap getah karet. Tengah hari ibu baru pulang dengan membawa ember hasil mencari getah karet. Setelah kering, ibu membawanya kepasar untuk dijual. Sekitar 8 km jarak antara pasar dan dusunku. Sebelum ke rumah ibu menyempatkan diri untuk mencari sayuran dan ikan untuk makan malam. Habis makan malam ibu menjahit pakaian pesanan tetangga hingga larut malam. Saat ibu menjahit, aku berkata, " Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata :”Kamu tidurlah dahulu, besok pagi-pagi harus sekolah.Ibu masih belum lelah dan mengantuk. Lagi pula pakaian ini esok mau diambil” Setelah berkata demikian, ibu merapikan tempat tidur dan mengecup keningku dan melanjutkan tugasnya.

Kebesaran ke 3
Ketika lulusan tiba, ibu diminta untuk hadir dan mengambil surat kelulusan. Ketika terik matahari mulai menyinari, ibu yang kelihatan lelah berjalan disampingku. Setelah pertemuan singkat para orang tua dan guru, Ibu dengan segera menghampiriku dan memberikan air yang ibu bawa dari rumah. Karena aku tahu ibu dari tadi belum meminum sejak dari rumah, aku berkata "Ibu minumlah lebih dahulu. Dari tadi aku belum melihat ibu minum" Dengan senyumnya yang khas sambil menyodorkan botolnya padaku, Ibu berkata "Minumlah anakku sayang, Ibu belum haus" Aku hanya memandang ibu dengan heran sambil meminum.

Kebesaran ke 4
Ibuku yang memang single parent selalu kewalahan dalam mengatur kehidupan yang dirumah.Karena gigihnya ibu bekerja, sampai-sampai ia jatuh sakit. Aku sebagai anaknya yang semata wayang begitu panik melihat ibuku yang kusayangi sakit. Lalu aku berusaha untuk membawanya ke puskesmas terdekat. Tapi seperti biasa ibu hanya berkata, "Ibu hanya demam ringan. Nanti juga sembuh sendiri" Pernah ada tetangga menganjurkan agar ibuku bisa menikah lagi. Tapi jawab ibu, "Aku ga mau hatiku terbagi dengan pria lain, biar aku berikan aja rasa sayangku ini pada anakku. Aku pun takut kalo ada ayah baru, ia nanti tidak sayang sama anakku"

Kebesaran ke 5
Setelah aku tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya istirahat. Tetapi ibu tidak mau, ia rela pergi ke hutan setiap pagi untuk menyadap getah untuk kebutuhan hidupnya. Aku yang bekerja memberika hasil kerjaku kepada ibuku untuk membantu kebutuhan kami. Tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan ia mengembalikan balik uang tersebut. Ibu berkata : “Saya masih punya uang. Kamu simpan aja buat keperluan kelak nanti. Kalau bisa kamu buat kuliah lagi,nak.”

Kebesaran ke 6
Atas anjurannya saya pun kuliah lagi ambil S1. Selesai S1, dimana aku bekerja di perusahan itu memberikan beasiswa untuk kuliah di kota lain. Aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di kota tersebut berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di kota besar. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku “Aku tidak terbiasa tinggal di kota besar."

Kebesaran ke 7
Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : “ Jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan. Jangan kamu terlalu khawatir dengan ibu.Ibu sekarang sudah bisa melepasmu dengan hati lapang, karena anakku sekarang sudah dewasa dan mandiri. Ijinkan ibu pergi menyusul ayah,nak.” Aku hanya bisa menanggis melihat keadaan ibu yang tergelatak lemah.
Aku sangat terpukul dengan kepergian ibuku yang begitu cepat. Belum ia menikmati hasil dari pekerjaanku, beliau sudah pergi. Ini akan selalu kukenang. karena peran kebesaran beliau aku bisa seperti ini."Terima kasih IBU."

Kaki Cerita :
Banyak kehidupan yang di alami seseorang dengan kehadiran sosok ibu. Ada yang kagum, ada yang bangga dan tidak sedikit juga ada yang benci dengan sosok ibu. Lalu apa yang kalian alami dengan sosok seorang ibu?
Coba diingat-ingat, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon dengan ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ibu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ibu yang ada di rumah.
Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita.
Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita? Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi..
Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian hari.

Tuhan Yesus Memberkati

Minggu, 02 Desember 2012

"MAAFKAN AKU AYAH" (PART 2)

Seorang gadis muda tumbuh di perkebunan ceri tidak jauh dari Traverse City, Michigan. Orang tuanya sedikit kolot, cenderung bereaksi berlebihan pada cincin di hidungnya, musik yang ia dengarkan dan panjang roknya. Mereka menghukumnya beberapa kali, dan ia memendam kejengkelan dalam hati.
“Saya benci Ayah!”, teriaknya ketika ayahnya mengetuk pintu kamarnya setelah sebuah pertengkaran, dan malam itu ia menjalankan rencana yang sudah ia pikirkan puluhan kali. Ia melarikan diri. Ia baru sekali ke Detroit sebelumnya, dalam perjalanan dengan bis bersama kelompok remaja gerejanya untuk menyaksikan permainan tim Tigers. Karena surat kabar di Traverse City sering memberitakan tentang geng, obat terlarang, dan kekerasan di pusat kota Detroit dengan sangat rinci, ia menyimpulkan pasti orang tuanya tidak akan mencarinya ke sana. California mungkin, atau Florida, tapi tidak Detroit.

Pada hari kedua ia di sana, ia bertemu seorang pria yang mengemudikan mobil paling besar yang pernah dilihatnya. Pria itu menawarkan untuk mengantarnya, membelikan makan siang, dan mengatur agar ia punya tempat tinggal. Ia memberi gadis ini beberapa pil yang membuatnya belum pernah merasa seenak ini. Ternyata selama ini ia memang benar, pikir gadis itu: orangtuanya melarangnya menikmati segala kesenangan.
Kehidupan menyenangkan berlanjut satu bulan, dua bulan, setahun. Orang bermobil besar itu, ia memanggilnya BOS, mengajarinya beberapa hal yang disukai pria. Karena ia masih di bawah umur, pria membayar mahal untuknya. Ia tinggal di apartemen mewah, dan bisa memesan layanan kamar kapan saja. Sesekali ia teringat pada orang-orang di kampung halamannya, tapi hidup mereka sekarang tampak sangat membosankan dan kampungan sampai ia hampir tidak percaya ia tumbuh besar di sana. Ia sedikit takut ketika melihat fotonya di belakang kemasan susu dengan judul besar, “Apakah Anda pernah melihat anak ini?”.
Tapi sekarang rambutnya sudah pirang, dan dengan semua riasan wajah dan perhiasan yang ia kenakan, tidak akan ada yang menyangka ia masih anak-anak. Lagipula, kebanyakan temannya adalah remaja yang melarikan diri, dan tidak ada yang berkhianat di Detroit. Setelah setahun, tanda-tanda samar penyakit mulai muncul, dan ia terkejut melihat betapa cepat bosnya menjadi kejam.
“Jaman sekarang kita tidak bisa main-main,” geramnya, dan tiba-tiba saja, ia sudah berada di jalanan tanpa uang di kantungnya. Ia masih melakukan "pekerjaannya" beberapa kali semalam, tapi bayaran mereka kecil, dan semua uang itu habis untuk membiayai kecanduannya. Ketika musim dingin tiba, ia menemukan dirinya tidur di pagar logam di depan pusat pertokoan.

Suatu malam ia berbaring tanpa bisa tidur, sambil mendengarkan langkah kaki, tiba-tiaba seluruh kehidupannya tampak berbeda. Ia tidak lagi merasa menjadi wanita hebat. Ia merasa seperti anak kecil, tersesat di kota yang dingin dan menakutkan. Ia mulai menggigil. Kantungnya kosong dan ia lapar. Ia juga perlu obat terlarang. Ia melipat kakinya, dan gemetar di bawah lembaran surat kabar yang ditumpuk di atas mantelnya.
Sesuatu muncul begitu saja di pikirannya, dan satu gambaran terbayang di matanya: bulan Mei di Traverse City, ketika jutaan pohon ceri berbuah bersamaan, ia berlarian bersama anjing golden retriever miliknya. Mengejar bola tenis di antara barisan pohon berbunga. Tuhan, mengapa aku pergi, katanya dalam hati, dan rasa perih menghunjam jantungnya. Anjingku saja di rumah makan lebih enak daripada aku sekarang. Ia menangis, dan dalam sekejap ia tahu tidak ada yag lebih ia inginkan di dunia kecuali pulang. Tiga sambungan telepon, tiga kali dijawab mesin panjawab. Ia menutup telepon tanpa meninggalkan pesan dua kali pertama, tapi ketiga kalinya ia berkata, “Ayah, Ibu, ini aku. Aku berpikir mungkin aku akan pulang. Aku akan naik bis ke sana, dan aku akan sampai sekitar tengah malam besok. Kalau Ayah dan Ibu tidak datang, yah, mungkin aku akan terus naik bis sampai ke Kanada”.
Dibutuhkan waktu sekitar tujuh jam dengan bis dari Detroit ke Traverse City, dan sepanjang jalan ia menyadari cacat-cacat dalam rencananya. Bagaimana kalau orangtuanya sedang keluar kota dan melewatkan pesan itu? Bukankah seharusnya ia menunggu satu dua hari sampai bisa berbicara langsung dengan mereka? Dan kalaupun mereka ada di rumah, mungkin mereka sudah lama menganggapnya mati. Seharusnya ia memberi waktu agar mereka bisa mengatasi rasa kagetnya. Pikirannya bolak-balik antara rasa khawatir dan kata-kata yang disusun untuk menyapa ayahnya.
“Ayah, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Bukan salah Ayah, semuanya salahku. Ayah, bisakah Ayah memaafkan aku?”
Ia mengucapkan pikiran itu berulang-ulang dalam hati, kerongkongannya tercekat bahkan ketika melatihnya. Sudah bertahun-tahun ia tidak minta maaf pada siapapun. Bis melaju dengan lampu menyala sejak Bay City. Butiran kecil salju yang berjatuhan di trotoar terlindas ribuan ban, dan aspal beruap. Ia lupa segelap apa malam hari disini. Seekor rusa berlari menyeberang jalan dan bis menghindarinya. Sesekali, ada billboard. Tanda yang menunjukkan jaraknya ke Traverse City. Ya, Tuhan. Ketika bis akhirnya berbelok ke stasiun, rem udaranya mendesis memprotes, pengemudi mengumumkan dengan suara serak lewat mikrofon.
“Lima belas menit, saudara-saudara. Kita hanya berhenti selama itu di sini.”
Lima belas menit untuk memutuskan hidupnya. Ia memeriksa dirinya di cermin lipat, merapikan rambutnya, dan menjilat lipstik dari giginya. Ia melihat noda tembakau di ujung-ujung jarinya dan berpikir apakah orangtuanya akan melihatnya. Kalau mereka datang. Ia berjalan ke dalam terminal. Tidak tahu harus mengharapkan apa. Tidak satu pun dari adegan yang ia siapakan di pikirannya bisa mempersiapkannya untuk apa yang dilihatnya. Di sana, di atas kursi-kursi plastik terminal bis Traverse City, Michigan, berdiri sekitar empat puluh saudara, paman, bibi, sepupu, nenek, nenek buyut. Mereka semua memakai topi kertas pesta dan gulungan kertas yang bisa ditiup, dan di dinding terminal ditempel spanduk yang dibuat dengan komputer bertuliskan, “Selamat pulang kembali!”
Di tengah kerumunan penyambut, muncul ayahnya. Ia memandang dengan mata perih dengan air mata sepanas air raksa, dan memulai sapaan yang sudah dihafalkan, “Yah, aku minta maaf. Aku tahu....Aku”
Ayahnya memotong. “Sst, Nak. Kita tidak punya waktu untuk itu. Tidak punya waktu untuk permintaan maaf. Kau akan terlambat ke pesta. Sebuah jamuan menunggumu di rumah.”
Amen

Catatan
Kisah aku minta maaf ayah yang ke 4 ini kisah terakhir dari, "aku minta maaf,ayah"
kisah yang terakhir ini memberikan suatu ajaran bagi kita sebagai seorang anak untuk berani bertanggung jawab dengan apa yang telah kita perbuat. Jangan pernah kita angap ayah yang kita takuti itu akan membunuh kita saat melakukan kesalahan. Namun, ada sisi lain juga dengan kasih seorang ayah yang bisa memaafkan apa yang anaknya perbuat meski itu sangat fatal. Dan Demikian juga bagi yang menjadi seorang ayah. Miliki hati yang mengasihi sebagai seorang ayah yang mw memaafkan anaknya, meski ia keterlaluan melakukan kesalahan. Semoga kisah di atas bisa membuka hati kita untuk berani meminta maaf dan berani juga untuk memaafkan.
Di bulan Desember kelak akan menceritakan KEBESARAN SEORANG IBU. Nantikan bulan depan dengan kisah kasih seorang ibu terhadap anak dan suaminya.

Tuhan Yesus Memberkati