Senin, 17 Desember 2012
Rabu, 12 Desember 2012
Kasih Sayang Ibu
04.46
No comments
Ada
seorang Ibu yang baru melahirkan di sebuah rumah sakit Bersalin. Sang
ibu berkata "Bisa saya melihat bayi saya?". Ketika gendongan itu
berpindah ketangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi
lelaki mungil, sang ibu menahan nafasnya. Suaminya mendekati istri yang
sempat kaget. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah
luar jendela rumah sakit. Bayi itu ternyata terlahir tanpa kedua belah
telinga!Sang ibu sangat shock ketika melihat anaknya lahir tanpa kedua
telinga. Demikian juga sang ayah saat melihat anaknya yang baru lahir.
“Bersabarlah Bapak dan Ibu, anak yang dilahirkan ini adalah anugerah
yang sangat besar dari Yang Maha Kuasa. Saya yakin kelak anak ini
memberikan kebahagian dan kesejukan hati kepada Bapak dan Ibu. Jagalah
dan besarkanlah anak ini dengan penuh kasih sayang dari kalian berdua”
Pesan dokter kepada suami istri. waktu membuktikan bahwa pendengaran
bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan
sempurna. Hanya saja penampilannya tampak aneh dan buruk.
Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya dipelukan sang ibu dan menangis terisak- isak.
"Tadi ada seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini
makhluk aneh," ujarnya. Mendengar penuturan anaknya, sang ibu merasa
sedih dan sesak hatinya. Karena malunya dengan teman-teman sebayanya,
sang anak tidak mau keluar rumah untuk bergaul.
Anak lelaki itu
tumbuh dewasa. Walau tidak memiliki daun telinga, ia cukup tampan dan
disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya dibidang
musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Dalam hati sang
ibu merasa bangga dan juga kasihan dengan keadaan anaknya.
Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa
mencangkokkan daun telinga untuk putranya. "Saya yakin mampu sepasang
daun telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia
mendonorkan telinganya," kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu
mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya
pada mereka. Setelah di cari-cari belum juga menemukan yang bisa
mendonorkan telinganya.
Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah
saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin
dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera
mengirimmu kerumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini
sangatlah rahasia," kata sang ayah. Operasi berjalan dengan sukses.
Dengan adanya telinga, maka ia semakin percaya diri. Bakat musiknya pun
semakin hebat. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Ia
sekarang menjadi sorotan bagi kaum wanita dengan penampilannya yang
sempurna kini.
Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan
bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayah dan ibunya, "Yah, aku
harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua
padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum
membalas kebaikannya." Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa
membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah
terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum
saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini." sang ibu hanya
tersenyum melihat anaknya.
Tahun berganti tahun. Kedua orangtua
lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang
menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu
berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal karena
terserang kanker. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut
jenazah ibu yang yang terbujur kaku itu, lalu menyibakkan sehingga
tampaklah bahwa sang ibu tidak memiliki telinga.
"Ibumu pernah
berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya. Dengan
alasan itu juga ia bisa mengorbankan telinganya untukmu,nak" bisik sang
ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit
kecantikannya bukan?" Demi melihat dan mendengar ayahnya, sang anak
hanya terdiam dan hanya terisak dengan kasih besar ibunya. Dengan masih
menangis, sang anak lalu mengecup kening ibunya untuk yang terakhir
kali.
Kaki Cerita
------------
Kisah di atas merupakan
salah satu kebesaran jiwa seorang ibu. Sungguh besar pengorbanan dan
kasih sayang seorang Ibu pada anaknya. Kasih Ibunya itu tidak terpatok
pada sesuatu apapun jua. Pengorbanan dan kasih sayangnya pada anak dan
keluarga begitu besar dan tidak dapat tergantikan dengan apapun. Kasih
sayangnya, nasihatnya, dan motivasinya sungguh bermakna dan memberikan
kesejukan pada anak dan keluarganya. Surga berada di telapak kaki ibu,
merupakan ungkapan yang sangat indah untuk menggambarkan eksistensi
seorang wanita yang telah berperan ganda dalam kehidupannya, yakni
sebagai seorang Ibu dan istri yang selalu memberikan kesejukan,
kedamaian, dan kebahagian pada keluarganya. Maka, hormatilah orang tua
kita selama ia masih ada.
Kecantikan yang sejati tidak terletak
pada penampilan tubuh namun di dalam hati. Harta karun yang hakiki
tidak terletak pada apa yang bisa dilihat, namun pada apa yang tidak
terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah
dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun
tidak diketahui.
Tuhan Yesus Memberkati
Sabtu, 08 Desember 2012
Rahasia Kebahagiaan Ada Pada Jiwa Bersyukur
20.08
No comments
Alkisah pada suatu senja temaram, tampak seorang perempuan cantik
berusia empat puluhan, berpakaian indah dan santun, turun dari mobil
mewah yang ditumpangi. Dengan wajah yang tidak bahagia, dia mendatangi
rumah bibinya yang berada di pinggir kota, jauh dari keramaian.
Setelah melepas kangen, sambil menarik napas panjang, perempuan itu berkata, “Bibi. Setelah anak-anak besar, saya merasa kesepian dan tidak bahagia. Saya merasakan kehidupan yang hampa dan tidak bermakna lagi.”
Sambil tersenyum bijak, tanpa berkomentar sedikit pun si bibi memanggil seorang perempuan, yang bekerja sebagai pembantu harian di rumah itu.
“Mbak Anik. Ini keponakan ibu. Datang dari kota ingin mendengar kisah bahagia. Nah, tolong diceritakan, bagaimana caranya menemukan kebahagiaan?”
Anik duduk di kursi yang ada di dekat perempuan itu, lalu mulai bercerita dengan gaya bahasanya yang lugu dan sederhana. Suaranya jernih dan jelas.
“Begini, Non. Saya pernah punya suami dan anak. Tetapi, suami saya meninggal karena kanker. Celakanya, tiga bulan kemudian putra tunggal saya menyusul bapaknya, meninggal ditabrak truk. Saat itu, saya tidak punya siapa pun. Saya enggak bisa tidur, enggak enak makan, enggak bisa tersenyum apalagi tertawa. Tiap hari selalu ada waktu untuk menangisi nasib saya yang jelek ini. Saya bahkan berpikir mau bunuh diri saja.
Lalu suatu malam, waktu pulang kerja, seekor kucing mengikuti saya. Karena di luar dingin, saya membiarkan anak kucing itu masuk ke dalam rumah. Saya memberinya susu, yang langsung habis diminum. Anak kucing itu mengeong dan menggosok-gosokkan badannya ke kaki saya. Untuk pertama kalinya dalam bulan itu, saya bisa tersenyum.
Saya sendiri merasa keheranan, lalu berpikir, jika membantu seekor anak kucing saja bisa membuat saya tersenyum, mungkin melakukan sesuatu untuk orang lain bisa membuat saya bahagia. Jadi, hari berikutnya, saya membuat kue pisang dan memberikannya ke tetangga yang lagi sakit dan tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Dia sangat senang menerima pemberian saya dan kami pun sempat ngobrol dengan bahagia.
Setiap hari, saya mencoba berbuat baik, paling sedikit satu kali sehari berbuat baik. Karena yang saya rasakan, saat melihat orang lain bahagia, saya juga merasa bahagia. Hari ini, rasanya tidak ada orang yang bisa makan lahap dantidur pulas seperti saya. Saya menemukan kebahagiaan ketika bisa membahagiakan orang lain.”
Mendengar cerita Anik, sontak perempuan kaya itu menangis. Ia sadar, ia punya segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang, tapi dia kehilangan hal-hal yang tak bisa dibeli uang. Kekayaan yang dipunyai ternyata tidak mampu membuatnya bahagia.
Bukan kekayaan, bukan pula kedudukan dan materi yang mendatangkan kebahagiaan sejati. Tetapi jiwa bersyukurlah yang menjadi kunci pembuka kebahagiaan.
Syukur adalah magnet keberkahan! Dengan mensyukuri atas segala sesuatu yang telah kita miliki, maka kebahagiaan akan selalu mengalir di kehidupan kita. Sebaliknya jika kita tidak mampu menerima keadaan kita hari ini, sebagaimana adanya dan mensyukurinya, maka akan muncul “ketimpangan” batin. Akan terjadi gejolak ketidaknyamanan, ketidakbahagiaan, yang akan membawa kita pada penderitaan yang berkepanjangan.
Bisa bersyukur adalah “ilmu hidup” yang harus kita praktikkan. Kebahagiaan itu, bukan sekadar apa yang kita dapatkan, malah seringkali, mampu memberikan bantuan / pertolongan bagi orang yang memerlukan, dan hal itu pasti akan melahirkan kebahagiaan sejati yang alami.
Setelah melepas kangen, sambil menarik napas panjang, perempuan itu berkata, “Bibi. Setelah anak-anak besar, saya merasa kesepian dan tidak bahagia. Saya merasakan kehidupan yang hampa dan tidak bermakna lagi.”
Sambil tersenyum bijak, tanpa berkomentar sedikit pun si bibi memanggil seorang perempuan, yang bekerja sebagai pembantu harian di rumah itu.
“Mbak Anik. Ini keponakan ibu. Datang dari kota ingin mendengar kisah bahagia. Nah, tolong diceritakan, bagaimana caranya menemukan kebahagiaan?”
Anik duduk di kursi yang ada di dekat perempuan itu, lalu mulai bercerita dengan gaya bahasanya yang lugu dan sederhana. Suaranya jernih dan jelas.
“Begini, Non. Saya pernah punya suami dan anak. Tetapi, suami saya meninggal karena kanker. Celakanya, tiga bulan kemudian putra tunggal saya menyusul bapaknya, meninggal ditabrak truk. Saat itu, saya tidak punya siapa pun. Saya enggak bisa tidur, enggak enak makan, enggak bisa tersenyum apalagi tertawa. Tiap hari selalu ada waktu untuk menangisi nasib saya yang jelek ini. Saya bahkan berpikir mau bunuh diri saja.
Lalu suatu malam, waktu pulang kerja, seekor kucing mengikuti saya. Karena di luar dingin, saya membiarkan anak kucing itu masuk ke dalam rumah. Saya memberinya susu, yang langsung habis diminum. Anak kucing itu mengeong dan menggosok-gosokkan badannya ke kaki saya. Untuk pertama kalinya dalam bulan itu, saya bisa tersenyum.
Saya sendiri merasa keheranan, lalu berpikir, jika membantu seekor anak kucing saja bisa membuat saya tersenyum, mungkin melakukan sesuatu untuk orang lain bisa membuat saya bahagia. Jadi, hari berikutnya, saya membuat kue pisang dan memberikannya ke tetangga yang lagi sakit dan tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Dia sangat senang menerima pemberian saya dan kami pun sempat ngobrol dengan bahagia.
Setiap hari, saya mencoba berbuat baik, paling sedikit satu kali sehari berbuat baik. Karena yang saya rasakan, saat melihat orang lain bahagia, saya juga merasa bahagia. Hari ini, rasanya tidak ada orang yang bisa makan lahap dantidur pulas seperti saya. Saya menemukan kebahagiaan ketika bisa membahagiakan orang lain.”
Mendengar cerita Anik, sontak perempuan kaya itu menangis. Ia sadar, ia punya segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang, tapi dia kehilangan hal-hal yang tak bisa dibeli uang. Kekayaan yang dipunyai ternyata tidak mampu membuatnya bahagia.
Bukan kekayaan, bukan pula kedudukan dan materi yang mendatangkan kebahagiaan sejati. Tetapi jiwa bersyukurlah yang menjadi kunci pembuka kebahagiaan.
Syukur adalah magnet keberkahan! Dengan mensyukuri atas segala sesuatu yang telah kita miliki, maka kebahagiaan akan selalu mengalir di kehidupan kita. Sebaliknya jika kita tidak mampu menerima keadaan kita hari ini, sebagaimana adanya dan mensyukurinya, maka akan muncul “ketimpangan” batin. Akan terjadi gejolak ketidaknyamanan, ketidakbahagiaan, yang akan membawa kita pada penderitaan yang berkepanjangan.
Bisa bersyukur adalah “ilmu hidup” yang harus kita praktikkan. Kebahagiaan itu, bukan sekadar apa yang kita dapatkan, malah seringkali, mampu memberikan bantuan / pertolongan bagi orang yang memerlukan, dan hal itu pasti akan melahirkan kebahagiaan sejati yang alami.
Senin, 03 Desember 2012
Kebesaran Jiwa Seorang Ibu
23.52
No comments
Yabes
begitu bangga dengan sosok ibunya yang memiliki Jiwa yang begtu besar.
Dia mengenang di saat-saat dirinya dekat dengan ibunya sewaktu ia kecil
hingga ia besar. Banyak yang Ibunya korbankan agar ia bisa menjadi anak
yang kuat dan sehat bagi pertumbuhannya. Dan Karena kebesaran jiwa
seorang ibu, Yabes menjadi seorang yang sukses. Kalau tanpa ibu, maka
hidup Yabes tak seberuntung ini. Ada 7 kebesaran kasihnya yang Yabes
alami dengan kebesaran kasih seorang ibu Sebelum ia pergi untuk
selama-lamanya.
Kebesaran 1
Aku terlahir sebagai seorang
anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja,
seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya
untuk aku, dikarenakan nasi yang dimasak hanya sedikit. Sambil
memindahkan nasi ke mangkuk aku, ibu berkata: “Makanlah nak, ibu tidak
begitu lapar. Makan yang banyak agar kamu bisa cepat besar”. Untuk
menambah gizi buat aku, ibu sering pergi ke sungai kecil guna mencari
ikan. ibu berharap dari ikan ia dapat bisa memberikan sedikit makanan
bergizi untuk pertumbuhan saya. Sepulang dari kolam, ibu segera memasak
ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan ikan itu, ibu
duduk di sampingku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di
tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat
ibu seperti itu, hatiku juga tersentuh, lalu menggunakan sendokku dan
memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia
berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan daging ikan. Biar ibu
makan kepala dan tulangnya yang garing ini”
Kebesaran yang ke 2
Saat aku sudah mulai bersekolah, ibu selalu bekerja tanpa mengenal
waktu hanya karena untuk membiayai sekolahku. Ibu selalu bangun
pagi-pagi sekali pergi kehutan untuk menyadap getah karet. Tengah hari
ibu baru pulang dengan membawa ember hasil mencari getah karet. Setelah
kering, ibu membawanya kepasar untuk dijual. Sekitar 8 km jarak antara
pasar dan dusunku. Sebelum ke rumah ibu menyempatkan diri untuk mencari
sayuran dan ikan untuk makan malam. Habis makan malam ibu menjahit
pakaian pesanan tetangga hingga larut malam. Saat ibu menjahit, aku
berkata, " Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.”
Ibu tersenyum dan berkata :”Kamu tidurlah dahulu, besok pagi-pagi harus
sekolah.Ibu masih belum lelah dan mengantuk. Lagi pula pakaian ini esok
mau diambil” Setelah berkata demikian, ibu merapikan tempat tidur dan
mengecup keningku dan melanjutkan tugasnya.
Kebesaran ke 3
Ketika lulusan tiba, ibu diminta untuk hadir dan mengambil surat
kelulusan. Ketika terik matahari mulai menyinari, ibu yang kelihatan
lelah berjalan disampingku. Setelah pertemuan singkat para orang tua dan
guru, Ibu dengan segera menghampiriku dan memberikan air yang ibu bawa
dari rumah. Karena aku tahu ibu dari tadi belum meminum sejak dari
rumah, aku berkata "Ibu minumlah lebih dahulu. Dari tadi aku belum
melihat ibu minum" Dengan senyumnya yang khas sambil menyodorkan
botolnya padaku, Ibu berkata "Minumlah anakku sayang, Ibu belum haus"
Aku hanya memandang ibu dengan heran sambil meminum.
Kebesaran ke 4
Ibuku yang memang single parent selalu kewalahan dalam mengatur
kehidupan yang dirumah.Karena gigihnya ibu bekerja, sampai-sampai ia
jatuh sakit. Aku sebagai anaknya yang semata wayang begitu panik melihat
ibuku yang kusayangi sakit. Lalu aku berusaha untuk membawanya ke
puskesmas terdekat. Tapi seperti biasa ibu hanya berkata, "Ibu hanya
demam ringan. Nanti juga sembuh sendiri" Pernah ada tetangga
menganjurkan agar ibuku bisa menikah lagi. Tapi jawab ibu, "Aku ga mau
hatiku terbagi dengan pria lain, biar aku berikan aja rasa sayangku ini
pada anakku. Aku pun takut kalo ada ayah baru, ia nanti tidak sayang
sama anakku"
Kebesaran ke 5
Setelah aku tamat dari sekolah
dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya istirahat. Tetapi ibu
tidak mau, ia rela pergi ke hutan setiap pagi untuk menyadap getah untuk
kebutuhan hidupnya. Aku yang bekerja memberika hasil kerjaku kepada
ibuku untuk membantu kebutuhan kami. Tetapi ibu bersikukuh tidak mau
menerima uang tersebut. Malahan ia mengembalikan balik uang tersebut.
Ibu berkata : “Saya masih punya uang. Kamu simpan aja buat keperluan
kelak nanti. Kalau bisa kamu buat kuliah lagi,nak.”
Kebesaran ke 6
Atas anjurannya saya pun kuliah lagi ambil S1. Selesai S1, dimana aku
bekerja di perusahan itu memberikan beasiswa untuk kuliah di kota lain.
Aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di
sebuah universitas ternama di kota tersebut berkat sebuah beasiswa di
sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan
gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati
hidup di kota besar. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau
merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku “Aku tidak terbiasa tinggal di
kota besar."
Kebesaran ke 7
Setelah memasuki usianya yang
tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit,
aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang
untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah
di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua,
menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di
wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat
dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku
terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil
berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam
kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : “ Jangan
menangis anakku, Aku tidak kesakitan. Jangan kamu terlalu khawatir
dengan ibu.Ibu sekarang sudah bisa melepasmu dengan hati lapang, karena
anakku sekarang sudah dewasa dan mandiri. Ijinkan ibu pergi menyusul
ayah,nak.” Aku hanya bisa menanggis melihat keadaan ibu yang tergelatak
lemah.
Aku sangat terpukul dengan kepergian ibuku yang begitu cepat.
Belum ia menikmati hasil dari pekerjaanku, beliau sudah pergi. Ini akan
selalu kukenang. karena peran kebesaran beliau aku bisa seperti
ini."Terima kasih IBU."
Kaki Cerita :
Banyak kehidupan yang
di alami seseorang dengan kehadiran sosok ibu. Ada yang kagum, ada yang
bangga dan tidak sedikit juga ada yang benci dengan sosok ibu. Lalu apa
yang kalian alami dengan sosok seorang ibu?
Coba diingat-ingat,
sudah berapa lamakah kita tidak menelepon dengan ibu kita? Sudah berapa
lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ibu
kita? Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu
mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ibu kita yang kesepian.
Kita selalu lupa akan ibu yang ada di rumah.
Jika dibandingkan
dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar kita. Buktinya,
kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas apakah dia sudah makan
atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita.
Namun,
apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita? Cemas apakah
ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita sudah bahagia
atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali
lagi..
Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi
ortu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di
kemudian hari.
Tuhan Yesus Memberkati
Minggu, 02 Desember 2012
"MAAFKAN AKU AYAH" (PART 2)
01.19
No comments
Seorang
gadis muda tumbuh di perkebunan ceri tidak jauh dari Traverse City,
Michigan. Orang tuanya sedikit kolot, cenderung bereaksi berlebihan pada
cincin di hidungnya, musik yang ia dengarkan dan panjang roknya. Mereka
menghukumnya beberapa kali, dan ia memendam kejengkelan dalam hati.
“Saya benci Ayah!”, teriaknya ketika ayahnya mengetuk pintu kamarnya
setelah sebuah pertengkaran, dan malam itu ia menjalankan rencana yang
sudah ia pikirkan puluhan kali. Ia melarikan diri. Ia baru sekali ke
Detroit sebelumnya, dalam perjalanan dengan bis bersama kelompok remaja
gerejanya untuk menyaksikan permainan tim Tigers. Karena surat kabar di
Traverse City sering memberitakan tentang geng, obat terlarang, dan
kekerasan di pusat kota Detroit dengan sangat rinci, ia menyimpulkan
pasti orang tuanya tidak akan mencarinya ke sana. California mungkin,
atau Florida, tapi tidak Detroit.
Pada hari kedua ia di sana,
ia bertemu seorang pria yang mengemudikan mobil paling besar yang pernah
dilihatnya. Pria itu menawarkan untuk mengantarnya, membelikan makan
siang, dan mengatur agar ia punya tempat tinggal. Ia memberi gadis ini
beberapa pil yang membuatnya belum pernah merasa seenak ini. Ternyata
selama ini ia memang benar, pikir gadis itu: orangtuanya melarangnya
menikmati segala kesenangan.
Kehidupan menyenangkan berlanjut satu
bulan, dua bulan, setahun. Orang bermobil besar itu, ia memanggilnya
BOS, mengajarinya beberapa hal yang disukai pria. Karena ia masih di
bawah umur, pria membayar mahal untuknya. Ia tinggal di apartemen mewah,
dan bisa memesan layanan kamar kapan saja. Sesekali ia teringat pada
orang-orang di kampung halamannya, tapi hidup mereka sekarang tampak
sangat membosankan dan kampungan sampai ia hampir tidak percaya ia
tumbuh besar di sana. Ia sedikit takut ketika melihat fotonya di
belakang kemasan susu dengan judul besar, “Apakah Anda pernah melihat
anak ini?”.
Tapi sekarang rambutnya sudah pirang, dan dengan semua
riasan wajah dan perhiasan yang ia kenakan, tidak akan ada yang
menyangka ia masih anak-anak. Lagipula, kebanyakan temannya adalah
remaja yang melarikan diri, dan tidak ada yang berkhianat di Detroit.
Setelah setahun, tanda-tanda samar penyakit mulai muncul, dan ia
terkejut melihat betapa cepat bosnya menjadi kejam.
“Jaman sekarang
kita tidak bisa main-main,” geramnya, dan tiba-tiba saja, ia sudah
berada di jalanan tanpa uang di kantungnya. Ia masih melakukan
"pekerjaannya" beberapa kali semalam, tapi bayaran mereka kecil, dan
semua uang itu habis untuk membiayai kecanduannya. Ketika musim dingin
tiba, ia menemukan dirinya tidur di pagar logam di depan pusat
pertokoan.
Suatu malam ia berbaring tanpa bisa tidur, sambil
mendengarkan langkah kaki, tiba-tiaba seluruh kehidupannya tampak
berbeda. Ia tidak lagi merasa menjadi wanita hebat. Ia merasa seperti
anak kecil, tersesat di kota yang dingin dan menakutkan. Ia mulai
menggigil. Kantungnya kosong dan ia lapar. Ia juga perlu obat terlarang.
Ia melipat kakinya, dan gemetar di bawah lembaran surat kabar yang
ditumpuk di atas mantelnya.
Sesuatu muncul begitu saja di
pikirannya, dan satu gambaran terbayang di matanya: bulan Mei di
Traverse City, ketika jutaan pohon ceri berbuah bersamaan, ia berlarian
bersama anjing golden retriever miliknya. Mengejar bola tenis di antara
barisan pohon berbunga. Tuhan, mengapa aku pergi, katanya dalam hati,
dan rasa perih menghunjam jantungnya. Anjingku saja di rumah makan lebih
enak daripada aku sekarang. Ia menangis, dan dalam sekejap ia tahu
tidak ada yag lebih ia inginkan di dunia kecuali pulang. Tiga sambungan
telepon, tiga kali dijawab mesin panjawab. Ia menutup telepon tanpa
meninggalkan pesan dua kali pertama, tapi ketiga kalinya ia berkata,
“Ayah, Ibu, ini aku. Aku berpikir mungkin aku akan pulang. Aku akan naik
bis ke sana, dan aku akan sampai sekitar tengah malam besok. Kalau Ayah
dan Ibu tidak datang, yah, mungkin aku akan terus naik bis sampai ke
Kanada”.
Dibutuhkan waktu sekitar tujuh jam dengan bis dari Detroit
ke Traverse City, dan sepanjang jalan ia menyadari cacat-cacat dalam
rencananya. Bagaimana kalau orangtuanya sedang keluar kota dan
melewatkan pesan itu? Bukankah seharusnya ia menunggu satu dua hari
sampai bisa berbicara langsung dengan mereka? Dan kalaupun mereka ada di
rumah, mungkin mereka sudah lama menganggapnya mati. Seharusnya ia
memberi waktu agar mereka bisa mengatasi rasa kagetnya. Pikirannya
bolak-balik antara rasa khawatir dan kata-kata yang disusun untuk
menyapa ayahnya.
“Ayah, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Bukan salah Ayah, semuanya salahku. Ayah, bisakah Ayah memaafkan aku?”
Ia mengucapkan pikiran itu berulang-ulang dalam hati, kerongkongannya
tercekat bahkan ketika melatihnya. Sudah bertahun-tahun ia tidak minta
maaf pada siapapun. Bis melaju dengan lampu menyala sejak Bay City.
Butiran kecil salju yang berjatuhan di trotoar terlindas ribuan ban, dan
aspal beruap. Ia lupa segelap apa malam hari disini. Seekor rusa
berlari menyeberang jalan dan bis menghindarinya. Sesekali, ada
billboard. Tanda yang menunjukkan jaraknya ke Traverse City. Ya, Tuhan.
Ketika bis akhirnya berbelok ke stasiun, rem udaranya mendesis
memprotes, pengemudi mengumumkan dengan suara serak lewat mikrofon.
“Lima belas menit, saudara-saudara. Kita hanya berhenti selama itu di sini.”
Lima belas menit untuk memutuskan hidupnya. Ia memeriksa dirinya di
cermin lipat, merapikan rambutnya, dan menjilat lipstik dari giginya. Ia
melihat noda tembakau di ujung-ujung jarinya dan berpikir apakah
orangtuanya akan melihatnya. Kalau mereka datang. Ia berjalan ke dalam
terminal. Tidak tahu harus mengharapkan apa. Tidak satu pun dari adegan
yang ia siapakan di pikirannya bisa mempersiapkannya untuk apa yang
dilihatnya. Di sana, di atas kursi-kursi plastik terminal bis Traverse
City, Michigan, berdiri sekitar empat puluh saudara, paman, bibi,
sepupu, nenek, nenek buyut. Mereka semua memakai topi kertas pesta dan
gulungan kertas yang bisa ditiup, dan di dinding terminal ditempel
spanduk yang dibuat dengan komputer bertuliskan, “Selamat pulang
kembali!”
Di tengah kerumunan penyambut, muncul ayahnya. Ia
memandang dengan mata perih dengan air mata sepanas air raksa, dan
memulai sapaan yang sudah dihafalkan, “Yah, aku minta maaf. Aku
tahu....Aku”
Ayahnya memotong. “Sst, Nak. Kita tidak punya waktu
untuk itu. Tidak punya waktu untuk permintaan maaf. Kau akan terlambat
ke pesta. Sebuah jamuan menunggumu di rumah.”
Amen
Catatan
Kisah aku minta maaf ayah yang ke 4 ini kisah terakhir dari, "aku minta maaf,ayah"
kisah yang terakhir ini memberikan suatu ajaran bagi kita sebagai
seorang anak untuk berani bertanggung jawab dengan apa yang telah kita
perbuat. Jangan pernah kita angap ayah yang kita takuti itu akan
membunuh kita saat melakukan kesalahan. Namun, ada sisi lain juga dengan
kasih seorang ayah yang bisa memaafkan apa yang anaknya perbuat meski
itu sangat fatal. Dan Demikian juga bagi yang menjadi seorang ayah.
Miliki hati yang mengasihi sebagai seorang ayah yang mw memaafkan
anaknya, meski ia keterlaluan melakukan kesalahan. Semoga kisah di atas
bisa membuka hati kita untuk berani meminta maaf dan berani juga untuk
memaafkan.
Di bulan Desember kelak akan menceritakan KEBESARAN
SEORANG IBU. Nantikan bulan depan dengan kisah kasih seorang ibu
terhadap anak dan suaminya.
Tuhan Yesus Memberkati
Selasa, 27 November 2012
Lima Ribu
23.45
No comments
Tahun 1976, sepasang suami istri sedang melangkahkan kaki, keluar dari
sebuah stasiun kereta api. Mereka baru saja tiba dari Jakarta. Dua
minggu yang lalu, mereka belum membayangkan ada di tempat mereka berdiri
saat ini.
Ketika ketua yayasan tempat sang suami melayani mengatakan bahwa si suami telah diangkat menjadi koordinator pelayanan misi yayasan tersebut, bukan kegembiraan atau sukacita besar yang terluap, namun kegalauan yang luar biasa. Setelah berita itu dikabarkan kepadanya, dia pulang tanpa semangat lalu menceritakan semua itu kepada istrinya.
"Ke mana kamu pergi, aku ikut." Hanya itu yang dikatakan istrinya saat suami meminta izin untuk tidak menerima keputusan yayasan tersebut kepada istrinya.
Sang suami dalam pergumulan berat. Yang dia tahu, dia membawa serta istrinya ke Jakarta bukan untuk menjadi seorang pegawai kantoran. Yang dia tahu akan pangilan Tuhan bagi dirinya adalah pergi ke sebuah tempat yang belum terjamah oleh Injil dan membangun gereja Tuhan di sana.
"Pak, saya minta ditempatkan di lapangan saja. Saat ini, panggilan bagi saya bukanlah duduk di belakang meja," kata sang suami kepada ketua yayasan.
Ketua yayasan membujuk untuk tetap menerima jabatan tersebut. Namun, dengan mantap pula si suami tetap menolak. Dua minggu kemudian, mereka pun diberangkatkan ke ujung timur pulau Jawa.
Saat ini mereka termangu di stasiun kereta. Entah mau ke mana. Tidak ada sanak saudara, tidak ada kenalan. Rencananya, mereka akan mencari penginapan terlebih dahulu, namun ternyata tidak ada satu pun penginapan di dekat stasiun, sedangkan hari sudah malam.
Mereka berjalan perlahan keluar dari stasiun. Istrinya yang kurus tetap tegak melangkahkan kaki kecilnya mengikuti langkah mantap sang suami.
Sudah lelah. Mereka pun berhenti di depan sebuah rumah. Malam sudah larut. Karena capai, sang suami memutuskan berhenti sejenak agar sang istri dapat beristirahat.
Sebuah motor perlahan mendekat. Dilihatnya kedua orang yang terlalu capai itu.
"Mau ke mana, Pak?" tanya sang pengendara motor yang telah mematikan mesin motornya.
"Hanya beristirahat sebentar, Pak," jelas si suami. "Kami mau ke daerah Genteng, tapi sudah tidak ada bis, jadinya kami jalan saja sambil mencari penginapan. Tapi nampaknya tidak ada."
"Oh, iya, di daerah sini memang tidak ada penginapan, Pak," jelas pengendara motor. "Penginapan adanya, ya di Genteng itu. Masih jauh Pak, kalau mau jalan kaki."
"Waduh, bagaimana ya?" komentar si suami.
"Menginap di rumah saya saja, Pak," kata si pengendara motor.
"Wah, terima kasih banyak, Pak," jawab si suami nyaris melompat-lompat. "Masih, jauh Pak, rumahnya?"
"Oh, tidak. Anda berdiri tepat di depan rumah saya, kok," senyum si pengendara motor. "Mari silakan masuk, istri Anda sudah terlihat sangat lelah."
"Puji Tuhan, terima kasih banyak, Pak," kata si suami dengan bibir bergetar.
Dari rumah itulah pasangan suami istri tersebut memulai pelayanan mereka. Walau hanya semalam, mereka sempat mengabarkan Kabar Baik kepada si pemilik rumah.
Keesokan harinya, mereka meninggalkan rumah tersebut. Berbekal sedikit uang jalan dari yayasan mereka pun menyewa sebuah penginapan dan mencari kamar kontrakan.
Berhari-hari tanpa hasil. Uang untuk membayar penginapan dan makan sudah hampir habis, sampai akhirnya mereka mendapatkan sebuah rumah yang hanya dihuni oleh seorang nenek. Ada sebuah kamar kosong yang sebenarnya tidak disewakan. Namun, saat suami istri ini mencari kamar kontrakan, si nenek segera menawarkan kamar di rumahnya. Rumahnya tidak bagus, hanya berdindingkan "gedhek". Namun, suami istri ini bersyukur karena ada tempat yang Tuhan sediakan untuk memulai pelayanan mereka. Nenek tidak menentukan uang sewa yang harus mereka bayar, seberapa saja boleh. Sebagian besar sisa uang yang mereka miliki pun diberikan kepada nenek. Jumlahnya tidak banyak. Si suami berjanji dalam hati, saat uang bulanan dari kantor datang, dia akan membayar lebih.
Dari rumah itu suami istri tersebut mulai berjalan kaki dari rumah ke rumah, pasar ke pasar, ladang ke ladang, untuk mencari jiwa bagi Tuhan.
Tanpa terasa, hampir satu tahun berlalu. Belum ada gereja, namun selama pelayanan tersebut, Tuhan memakai mereka menjangkau banyak jiwa. Ada empat orang petobat baru yang Tuhan izinkan untuk mereka muridkan.
Empat orang petobat baru tersebut mereka beri pelajaran dan pemahaman Alkitab. Mereka dididik pula untuk menjadi penginjil yang kelak akan meneruskan pelayanan yang telah dirintis ke berbagai pelosok desa di ujung timur pulau Jawa tersebut.
Satu hal yang menjadi pemikiran suami istri ini adalah, ketika keempat orang tersebut terbeban untuk dikader menjadi penginjil, mereka meninggalkan pekerjaan mereka sehari-hari sebagai petani maupun pedagang keliling untuk mengikuti pelajaran yang diberikan suami istri ini dan turut pula terjun di lapangan. Lalu, bagaimana mereka mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari? Sebenarnya tidak ada keluhan dari keempat orang yang mereka muridkan tersebut. Namun, tetap saja suami istri ini memikirkan hal tersebut.
Surat pun dilayangkan kepada pengurus yayasan, sekiranya keempat orang yang mereka muridkan ini dapat pula menerima berkat dari yayasan. Sambil menunggu kabar dari pengurus yayasan, suami istri ini pun memutuskan untuk membagi berkat bulanan mereka dengan keempat orang tersebut.
Saat itu, awal tahun 1977, mereka mendapatkan uang Rp 25.000 setiap bulan dari pengurus yayasan. Uang sebesar itu pun dibagi menjadi lima. Itu berarti keempat orang yang mereka muridkan mendapat uang Rp 5.000 setiap bulannya, sama besarnya dengan jumlah yang didapatkan suami istri tersebut. Mulai sejak saat itu, pasangan suami istri itu pun hidup berhemat. Jika dulu mereka bisa makan nasi, mereka pun beralih ke bubur, nasi jagung, atau tiwul. Lauk pun seadanya. Jika tidak ada lauk, mereka cukup makan dengan bubur sambal dan sayur genjer yang diambil istri dari sawah-sawah penduduk sekitar. Berbulan-bulan lamanya keadaan tetap seperti itu karena tidak ada kabar apapun pula dari pengurus yayasan mengenai usulan mereka untuk memberikan uang bulanan kepada empat orang yang telah menjadi penginjil. Si istri pun semakin kurus dan sering sakit. Pernah mereka berdua hampir menyerah karena pergumulan akan kebutuhan hidup sehari-hari, ditambah lagi kebutuhan pelayanan. Mereka merasa yayasan sungguh tidak memedulikan kesulitan mereka di sana. Namun, Tuhan tidak tinggal diam. Meskipun dalam kesulitan, Tuhan tetap menghibur dan menguatkan. Ketaatan akan panggilan Tuhan memang diuji dan mereka ingin memenangkan ujian tersebut. Sesakit apapun, mereka dan empat orang murid rohani mereka, memutuskan untuk tetap taat pada panggilan Tuhan. Tuhan terus membuka jalan bagi penginjilan di ujung timur pulau Jawa tersebut. Semakin banyak jiwa dimenangkan, termasuk nenek yang menyediakan kamar untuk mereka sewa dan rumah untuk dijadikan tempat persekutuan.
Akhir tahun 1977, pihak yayasan memanggil suami istri ini untuk kembali ke Jakarta. Keadaan mendesak di kantor pusat membuat mereka harus meninggalkan tempat pelayanan itu. Empat orang penginjil baru yang telah berhasil dimuridkan pun telah siap untuk meneruskan perintisan di daerah tersebut. Dengan berat hati suami istri ini memutuskan untuk bersedia meninggalkan ujung timur pulau Jawa tersebut, ditambah lagi masih ada rasa kecewa terhadap yayasan yang seolah menutup mata akan kesulitan hidup mereka selama di lapangan. Namun, Tuhan memberikan tanda kepada mereka, bahwa cukup sudah pelayanan mereka di ujung timur pulau Jawa tersebut. Tuhan menyediakan pekerja-pekerja-Nya yang lain untuk meneruskan pelayanan mereka. Tuhan juga melembutkan hati mereka untuk memaafkan pihak yayasan.
Bertahun-tahun kemudian, sepasang suami istri ini telah menjadi orang tua dari empat orang anak dan tetap melayani Tuhan. Setiap ada kesempatan untuk pergi ke ujung timur pulau Jawa tersebut, mereka membawa serta anak-anaknya. Mereka tinggal di rumah nenek dan di kamar kecil yang mereka sewa ketika berada di sana. Mereka ingin anak-anaknya juga melihat pekerjaan Tuhan yang luar biasa di ujung timur pulau Jawa tersebut.
"Kenapa Papa senang mengajak kami liburan ke sini?" tanyaku kepada si suami yang sedang bersiap-siap lagi mengajak anak-anaknya mengunjungi sebuah gereja dari sekian banyak gereja yang telah masuk jadwal kunjungannya.
"Karena Tuhan membuat 5000 rupiah menjadi lebih dari lima ribu jiwa! Karena dari dua menjadi empat kali lima ribu jiwa!" Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku waktu mendengar jawabannya saat itu. Bukan mengerti maksudnya, namun otak kecilku tidak mampu memahami apa yang dimaksudnya.
Namun, sekarang setiap mendengar cerita si istri mengenai perintisan ujung timur pulau Jawa itu, aku tidak lagi mengangguk-anggukkan kepalaku. Aku hanya dapat termangu sambil berkata dalam hati, "Terpujilah Tuhan!"
Ketika ketua yayasan tempat sang suami melayani mengatakan bahwa si suami telah diangkat menjadi koordinator pelayanan misi yayasan tersebut, bukan kegembiraan atau sukacita besar yang terluap, namun kegalauan yang luar biasa. Setelah berita itu dikabarkan kepadanya, dia pulang tanpa semangat lalu menceritakan semua itu kepada istrinya.
"Ke mana kamu pergi, aku ikut." Hanya itu yang dikatakan istrinya saat suami meminta izin untuk tidak menerima keputusan yayasan tersebut kepada istrinya.
Sang suami dalam pergumulan berat. Yang dia tahu, dia membawa serta istrinya ke Jakarta bukan untuk menjadi seorang pegawai kantoran. Yang dia tahu akan pangilan Tuhan bagi dirinya adalah pergi ke sebuah tempat yang belum terjamah oleh Injil dan membangun gereja Tuhan di sana.
"Pak, saya minta ditempatkan di lapangan saja. Saat ini, panggilan bagi saya bukanlah duduk di belakang meja," kata sang suami kepada ketua yayasan.
Ketua yayasan membujuk untuk tetap menerima jabatan tersebut. Namun, dengan mantap pula si suami tetap menolak. Dua minggu kemudian, mereka pun diberangkatkan ke ujung timur pulau Jawa.
Saat ini mereka termangu di stasiun kereta. Entah mau ke mana. Tidak ada sanak saudara, tidak ada kenalan. Rencananya, mereka akan mencari penginapan terlebih dahulu, namun ternyata tidak ada satu pun penginapan di dekat stasiun, sedangkan hari sudah malam.
Mereka berjalan perlahan keluar dari stasiun. Istrinya yang kurus tetap tegak melangkahkan kaki kecilnya mengikuti langkah mantap sang suami.
Sudah lelah. Mereka pun berhenti di depan sebuah rumah. Malam sudah larut. Karena capai, sang suami memutuskan berhenti sejenak agar sang istri dapat beristirahat.
Sebuah motor perlahan mendekat. Dilihatnya kedua orang yang terlalu capai itu.
"Mau ke mana, Pak?" tanya sang pengendara motor yang telah mematikan mesin motornya.
"Hanya beristirahat sebentar, Pak," jelas si suami. "Kami mau ke daerah Genteng, tapi sudah tidak ada bis, jadinya kami jalan saja sambil mencari penginapan. Tapi nampaknya tidak ada."
"Oh, iya, di daerah sini memang tidak ada penginapan, Pak," jelas pengendara motor. "Penginapan adanya, ya di Genteng itu. Masih jauh Pak, kalau mau jalan kaki."
"Waduh, bagaimana ya?" komentar si suami.
"Menginap di rumah saya saja, Pak," kata si pengendara motor.
"Wah, terima kasih banyak, Pak," jawab si suami nyaris melompat-lompat. "Masih, jauh Pak, rumahnya?"
"Oh, tidak. Anda berdiri tepat di depan rumah saya, kok," senyum si pengendara motor. "Mari silakan masuk, istri Anda sudah terlihat sangat lelah."
"Puji Tuhan, terima kasih banyak, Pak," kata si suami dengan bibir bergetar.
Dari rumah itulah pasangan suami istri tersebut memulai pelayanan mereka. Walau hanya semalam, mereka sempat mengabarkan Kabar Baik kepada si pemilik rumah.
Keesokan harinya, mereka meninggalkan rumah tersebut. Berbekal sedikit uang jalan dari yayasan mereka pun menyewa sebuah penginapan dan mencari kamar kontrakan.
Berhari-hari tanpa hasil. Uang untuk membayar penginapan dan makan sudah hampir habis, sampai akhirnya mereka mendapatkan sebuah rumah yang hanya dihuni oleh seorang nenek. Ada sebuah kamar kosong yang sebenarnya tidak disewakan. Namun, saat suami istri ini mencari kamar kontrakan, si nenek segera menawarkan kamar di rumahnya. Rumahnya tidak bagus, hanya berdindingkan "gedhek". Namun, suami istri ini bersyukur karena ada tempat yang Tuhan sediakan untuk memulai pelayanan mereka. Nenek tidak menentukan uang sewa yang harus mereka bayar, seberapa saja boleh. Sebagian besar sisa uang yang mereka miliki pun diberikan kepada nenek. Jumlahnya tidak banyak. Si suami berjanji dalam hati, saat uang bulanan dari kantor datang, dia akan membayar lebih.
Dari rumah itu suami istri tersebut mulai berjalan kaki dari rumah ke rumah, pasar ke pasar, ladang ke ladang, untuk mencari jiwa bagi Tuhan.
Tanpa terasa, hampir satu tahun berlalu. Belum ada gereja, namun selama pelayanan tersebut, Tuhan memakai mereka menjangkau banyak jiwa. Ada empat orang petobat baru yang Tuhan izinkan untuk mereka muridkan.
Empat orang petobat baru tersebut mereka beri pelajaran dan pemahaman Alkitab. Mereka dididik pula untuk menjadi penginjil yang kelak akan meneruskan pelayanan yang telah dirintis ke berbagai pelosok desa di ujung timur pulau Jawa tersebut.
Satu hal yang menjadi pemikiran suami istri ini adalah, ketika keempat orang tersebut terbeban untuk dikader menjadi penginjil, mereka meninggalkan pekerjaan mereka sehari-hari sebagai petani maupun pedagang keliling untuk mengikuti pelajaran yang diberikan suami istri ini dan turut pula terjun di lapangan. Lalu, bagaimana mereka mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari? Sebenarnya tidak ada keluhan dari keempat orang yang mereka muridkan tersebut. Namun, tetap saja suami istri ini memikirkan hal tersebut.
Surat pun dilayangkan kepada pengurus yayasan, sekiranya keempat orang yang mereka muridkan ini dapat pula menerima berkat dari yayasan. Sambil menunggu kabar dari pengurus yayasan, suami istri ini pun memutuskan untuk membagi berkat bulanan mereka dengan keempat orang tersebut.
Saat itu, awal tahun 1977, mereka mendapatkan uang Rp 25.000 setiap bulan dari pengurus yayasan. Uang sebesar itu pun dibagi menjadi lima. Itu berarti keempat orang yang mereka muridkan mendapat uang Rp 5.000 setiap bulannya, sama besarnya dengan jumlah yang didapatkan suami istri tersebut. Mulai sejak saat itu, pasangan suami istri itu pun hidup berhemat. Jika dulu mereka bisa makan nasi, mereka pun beralih ke bubur, nasi jagung, atau tiwul. Lauk pun seadanya. Jika tidak ada lauk, mereka cukup makan dengan bubur sambal dan sayur genjer yang diambil istri dari sawah-sawah penduduk sekitar. Berbulan-bulan lamanya keadaan tetap seperti itu karena tidak ada kabar apapun pula dari pengurus yayasan mengenai usulan mereka untuk memberikan uang bulanan kepada empat orang yang telah menjadi penginjil. Si istri pun semakin kurus dan sering sakit. Pernah mereka berdua hampir menyerah karena pergumulan akan kebutuhan hidup sehari-hari, ditambah lagi kebutuhan pelayanan. Mereka merasa yayasan sungguh tidak memedulikan kesulitan mereka di sana. Namun, Tuhan tidak tinggal diam. Meskipun dalam kesulitan, Tuhan tetap menghibur dan menguatkan. Ketaatan akan panggilan Tuhan memang diuji dan mereka ingin memenangkan ujian tersebut. Sesakit apapun, mereka dan empat orang murid rohani mereka, memutuskan untuk tetap taat pada panggilan Tuhan. Tuhan terus membuka jalan bagi penginjilan di ujung timur pulau Jawa tersebut. Semakin banyak jiwa dimenangkan, termasuk nenek yang menyediakan kamar untuk mereka sewa dan rumah untuk dijadikan tempat persekutuan.
Akhir tahun 1977, pihak yayasan memanggil suami istri ini untuk kembali ke Jakarta. Keadaan mendesak di kantor pusat membuat mereka harus meninggalkan tempat pelayanan itu. Empat orang penginjil baru yang telah berhasil dimuridkan pun telah siap untuk meneruskan perintisan di daerah tersebut. Dengan berat hati suami istri ini memutuskan untuk bersedia meninggalkan ujung timur pulau Jawa tersebut, ditambah lagi masih ada rasa kecewa terhadap yayasan yang seolah menutup mata akan kesulitan hidup mereka selama di lapangan. Namun, Tuhan memberikan tanda kepada mereka, bahwa cukup sudah pelayanan mereka di ujung timur pulau Jawa tersebut. Tuhan menyediakan pekerja-pekerja-Nya yang lain untuk meneruskan pelayanan mereka. Tuhan juga melembutkan hati mereka untuk memaafkan pihak yayasan.
Bertahun-tahun kemudian, sepasang suami istri ini telah menjadi orang tua dari empat orang anak dan tetap melayani Tuhan. Setiap ada kesempatan untuk pergi ke ujung timur pulau Jawa tersebut, mereka membawa serta anak-anaknya. Mereka tinggal di rumah nenek dan di kamar kecil yang mereka sewa ketika berada di sana. Mereka ingin anak-anaknya juga melihat pekerjaan Tuhan yang luar biasa di ujung timur pulau Jawa tersebut.
"Kenapa Papa senang mengajak kami liburan ke sini?" tanyaku kepada si suami yang sedang bersiap-siap lagi mengajak anak-anaknya mengunjungi sebuah gereja dari sekian banyak gereja yang telah masuk jadwal kunjungannya.
"Karena Tuhan membuat 5000 rupiah menjadi lebih dari lima ribu jiwa! Karena dari dua menjadi empat kali lima ribu jiwa!" Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku waktu mendengar jawabannya saat itu. Bukan mengerti maksudnya, namun otak kecilku tidak mampu memahami apa yang dimaksudnya.
Namun, sekarang setiap mendengar cerita si istri mengenai perintisan ujung timur pulau Jawa itu, aku tidak lagi mengangguk-anggukkan kepalaku. Aku hanya dapat termangu sambil berkata dalam hati, "Terpujilah Tuhan!"
Kalajengking
23.43
No comments
Ada seorang India yang melihat seekor kalajengking mengambang
berputar-putar di air. Ia memutuskan untuk menolong kalajengking itu
keluar dengan mengulurkan jarinya, tetapi kalajengking itu menyengatnya.
Orang itu masih tetap berusaha mengeluarkan kalajengking itu keluar
dari air, tetapi binatang itu lagi-lagi menyengat dia.
Seorang pejalan kaki yang melihat kejadian itu mendekat dan melarang orang India itu menyelamatkan kalajengking yang terus saja menyengat orang yang mencoba menyelamatkannya. Tetapi orang India itu berkata, "Secara alamiah kalajengking itu menyengat. Secara alamiah saya ini mengasihi. Mengapa saya harus melepaskan naluri alamiah saya untuk mengasihi gara-gara kalajengking itu secara alamiah menyengat saya?"
Jangan berhenti mengasihi,
Jangan menghentikan kebaikan anda, Bahkan meskipun ketika orang-orang lain menyengat anda.
Seorang pejalan kaki yang melihat kejadian itu mendekat dan melarang orang India itu menyelamatkan kalajengking yang terus saja menyengat orang yang mencoba menyelamatkannya. Tetapi orang India itu berkata, "Secara alamiah kalajengking itu menyengat. Secara alamiah saya ini mengasihi. Mengapa saya harus melepaskan naluri alamiah saya untuk mengasihi gara-gara kalajengking itu secara alamiah menyengat saya?"
Jangan berhenti mengasihi,
Jangan menghentikan kebaikan anda, Bahkan meskipun ketika orang-orang lain menyengat anda.
Kisah Stephen Tong
23.42
No comments
9 Januari 1957, hari itu pergumulan jiwa saya begitu berat. Menentukan
apakah saya seumur hidup akan menyerahkan diri menjadi penginjil atau
tidak. Lima tahun sebelum itu saya sudah menyerahkan diri. Waktu itu
saya berumur 12 tahun, dan berkata “Seumur hidup saya mau menjadi
hamba-Mu, dan tugas utamaku adalah memberitakan Injil di dalam sejarah
manusia untuk memenangkan jiwa kembali ke Kerajaan Tuhan”. Lima tahun
kemudian, secara perlahan saya mulai tertarik oleh Komunisme, Atheisme,
Evolusionisme, Dialektika Materialisme, dan filsafat-filsafat yang
paling modern, dimana sebaya saya banyak yang tidak tertarik. Saya
sangat tertarik dan mulai terkontaminasi. Dan akhirnya, saya mulai
membuang iman Kristen.
Saat itu ada seorang pendeta yang unik datang ke Indonesia. Pendeta itu seumur hidupnya memanggil orang menjadi hamba Tuhan. Saya menghadiri retreat yang dipimpin oleh Pendeta tersebut untuk menyenangkan hati mama saya. Hari itu menjadi pergumulan paling berat selama tujuh belas tahun saya hidup di dunia. Meskipun khotbah Pendeta itu menyentuh, namun iman Kristen sudah saya buang. Hanya mama saya, yang sejak saya berumur tiga tahun telah menjadi janda, tetap setia mendoakan saya. Apakah saya harus kembali kepada iman yang menurut saya saat itu sudah kuno, sudah digugurkan oleh ilmu, sudah ditolak oleh orang modern. Saya tidak berani dan malu berdoa di kamar, karena banyak orang ikut camp. Maka saya berlutut di kamar mandi, diatas ubin yang basah. Saya berdoa, “Tuhan kalau malam ini ternyata Engkau hidup, panggil saya dengan kuasa-Mu. Jika saya tidak sanggup melawan-Mu, maka saya akan seumur hidup setia sampai mati. Jikalau tidak ada panggilan jelas dan ternyata Engkau tidak bicara pada saya, saya akan lolos dan seumur hidup tidak lagi mengenal Engkau”. Dengan air mata saya bergumul kepada Tuhan. Lalu malam itu saya ikut kebaktian. Ada peserta yang bicara, tertawa, namun saya diam, tenang dan serius. Saya mau melihat bagaimana Tuhan bekerja. Kursi seperti lebih keras dari biasa, suasana lebih dingin dari biasa, waktu lewat lebih pelan dari biasa. Atheismekah atau Theisme?, Pagankah atau Christian?, Komunismekah atau Kristen?, Evolusikah atau Creation? Ini adalah saat penentu. Disatu sisi ada orang-orang Kristen yang mencintai Tuhan, yang hidupnya sangat saya kagumi. Disisi lain, fakta mengenai filsafat-filsafat mutakhir juga tidak bisa saya tolak.
Pendeta yang berkhotbah bagi saya berteriak-teriak mewakili teriakan terakhir sebelum Kristen mati. Teriakan yang mewakili status sebagai antek-antek Imperialisme yang merampas kebebasan manusia berpikir dan mempelopori racun barat untuk membuka jalan bagi meriam Imperialisme. Dengan mata yang miring saya melihat dia dan dengan sikap pertarungan dalam hati untuk menentukan nasib saya seumur hidup. Khotbah hari itu adalah mengenai lima suara,
Suara pertama adalah suara Allah Bapa. “Siapa yang boleh aku utus”, Firman-Nya. Lalu jawaban dari Yesaya, “disini saya, utuslah saya”. Jawaban dari Tuhan Allah, “Saya akan mengirim engkau untuk memberitakan Firman yang tidak diterima oleh orang lain. Saya akan mengirim engkau pergi kepada bangsa-bangsa yang keras hati”. Wah ini paradoks sekali, tetapi kelihatan ada makna tertentu yang saya perlu pelajari lagi.
Suara kedua adalah suara Anak Allah yang berkata “Tuaian sudah masak, pergilah menuai sebelum waktu lewat dan pergi ke seluruh dunia kabarkan Injil jadikan segala bangsa muridku”. ini suara dari pada anak Allah,
Suara ketiga adalah suara ROH KUDUS diambil dari wahyu, mengenai barang siapa yang rela meminum air hidup akan diperanakkan pula, karena Injil adalah kuasa Allah untuk menyelamatkan setiap orang yang percaya.
Suara keempat adalah suara Rasul. “Jikalau aku tidak mengabar Injil, celakalah aku”, kata Paulus. karena beban ini sudah diberikan kepada aku dan jika aku dengan rela mengerjakannya ada pahala bagiku, rela, terpaksa, terpaksa, rela, aku harus rela memaksa diriku untuk melayani Injil atau aku harus memaksa diri untuk rela melayani?, ini paradoks lagi.
Suara kelima adalah suara dari Neraka. ini yang membuat saya sangat terkejut. Saya tidak pernah mendengar ada suara pekabaran Injil dari neraka. Siapapun pendeta tidak mengkhotbahkan dari neraka ada orang memanggil manusia mengabar Injil. Dia mengambil ayat dari Lukas 16. Abraham disuruh mengirim orang pergi memberitakan Injil kepada saudara orang kaya yang dihukum, supaya mereka tidak datang ke neraka. Abraham mengatakan bahwa hal itu tidak bisa. Yang kaya mengatakan kalau Abraham meminta lazarus yang pergi, mereka akan percaya. Ini adalah strategi penginjilan dari neraka. Saran neraka, suara neraka, strategi neraka pakai mujizat orang akan percaya. Sekarang di dalam Kekristenan ada dua arus. Yang menekankan Firman dalam penginjilan, dan yang menekankan mujizat. Banyak pendeta sudah jatuh dalam takhyul, tanpa pakai mujizat tidak akan ada orang yang menerima Firman Tuhan. Abraham diminta kirim Lazarus, kalau kirim Billy Graham percuma, mereka tidak ada mujizat. Kalau Lazarus yang berkhotbah karena dia sudah bangkit daripada kematian, maka lima saudaraku menjadi percaya. Saran ini terlihat amat bagus, namun bukan strategi Tuhan. Kesulitan sekarang adalah pemimpin gereja tidak peka lagi strategi dari Tuhan. Ide yang disarankan dari neraka ditolak oleh Abraham, karena sudah ada Firman dalam dunia. Dialog berhenti, diskusi strategi antara neraka dan surga berhenti disitu, Alkitab tidak meneruskan lagi. Lalu kita melihat selama 2000 tahun penginjilan dilakukan ke seluruh dunia, melalui apa? Strategi sorga atau nereka?
Mujizat terbesar adalah melalui percaya kepada Yesus Kristus, orang berdosa bertobat, orang yang mati rohani dapat hidup kembali dan menjadi anak Tuhan yang jujur dan setia. Setelah mendengar khotbah itu, ROH KUDUS bekerja dalam hati saya. Saya mulai bereaksi. Man is not what he thinks, man is not what he feels, man is not what he behaves, itu semua psikologi dunia yang kosong. Man is equal to what he reacts before God. You will be counted in eternity as what you react to God, when you’re living in this earth. Saya harus bagaimana bereaksi kepada Tuhan, akhirnya dapat suatu suara yang sangat dahsyat dalam hati. Kalau engkau tidak mengabarkan injil, maka engkau lebih kalah dari orang di dalam neraka, orang yang jatuh di dalam neraka masih mengharapkan saudaranya diselamatkan. Meskipun strateginya salah, tetapi keinginan mereka supaya saudara sekandung mereka diselamatkan lebih besar cinta daripada engkau yang tidak mengabarkan injil. Teguran yang dahsyat ini membuat saya sadar, dan akhirnya air mata mengalir terus, sampai pakaian depan semua basah kuyup. Saya berkata Tuhan ,” Hari ini saya janji, seumur hidup menjadi hamba-Mu, mengabarkan Injil, dan setelah Tuhan menjawab semua pertanyaan saya, mengenai Evolusi, mengenai Atheisme, Dialektical Materialisme, Komunisme, saya akan ke seluruh dunia menjawab pertanyaan, kesulitan yang menghambat orang lain menjadi orang Kristen. Apologetika yang melayani penginjilan,dan teologi Reformed yang solid, menjadi satu senjata di dalam tangan saya untuk pergi menjelajah.
Sekarang sudah 51 tahun saya sudah pernah berkhotbah kepada kira-kira 30 juta manusia di dalam lebih dari pada 29 ribu kali kebaktian. Menjelajah kira-kira 600 kota di dalam 51 tahun. Dalam usia 68, saya masih naik kapal terbang satu tahun 300 kali, berkhotbah 500 kali, dan diantaranya kira-kira 40 hari minggu di Indonesia, negara yang saya cintai. Bagaimana beratpun, tetap harus menginjili. Kekristenan harus malu, karena bioskop mainkan cerita fiksi, namun tiap hari terus main. Gereja yang menyatakan kebenaran, tidak tiap hari mengabar Injil. Kepada Tuhan kita menyembah , kepada sesama saling mengasihi, kepada dunia kita menginjili. Jikalau gereja tidak menginjili lagi, maka fungsi eksistensinya berhenti dalam dunia ini. Itu sebabnya gerakan Reformed Injili diadakan, untuk memberitakan Firman yang berbobot, berkualitas, dan yang setia kepada Alkitab ke dalam, serta mengabarkan Injil yang murni dan setia keluar.
Apakah hari ini kita masih berbeban untuk penginjilan? Waktu di London tahun 1977, saya melihat satu iklan di muka sebuah bioskop mengenai pertunjukan berjudul Jesus Christ superstar. Tertulis dibawahnya sudah tahun ketujuh, tiap hari dipentaskan. Satu tahun 365 hari, tujuh tahun berturut-turut melawan Yesus dengan nama Jesus Christ superstar. Pementasan yang memfitnah Yesus adalah homoseks, maka semua muridnya laki-laki. Akhirnya seorang murid yang paling cinta pada Dia dan tidak berhasil mendapat cinta-Nya, menjual Dia dengan 30 uang perak. Film yang begitu rusak, yang demikian memfitnah Kekristenan, bisa main selama tujuh tahun dan tiap hari ada penonton. Adakah gereja yang berani mengatakan Jesus Christ is the true saviour of the Lord, setiap hari mengabarkan injil selama tujuh tahun?
Kita harus sedih, karena gereja yang mengabarkan Injil murni, Yesus Juru selamat, Kristus penanggung dosa, khotbah seperti ini sudah hampir hilang. Diganti dengan siapa percaya Tuhan akan mendapat mujizat, saya percaya Tuhan akan mendapatkan kesembuhan, saya percaya Tuhan akan menjadi kaya. Ini adalah teologi sukses, teologi berhasil, teologi makmur yang merajalela. Sedang teologi salib, teologi kebangkitan, teologi Kristus menjalankan hukuman mengganti manusia sudah hilang. Kita masih berani menamakan diri Kristen, pengikut Kristus, orang Injili, Alkitabiah.
Begitu banyak pemuda pemudi yang kita panggil, kemudian mereka mulai mengabarkan Injil. Namun setelah lulus dari sekolah teologi mereka menjadi tidak mengabarkan Injil. Saya sudah teriak ini di benua-benua yang lain berapa besar hukuman yang akan ditimpakan pada rektor-rektor dan dosen-dosen Teologi yang menjadikan orang yang suka mengabarkan Injil setelah belajar empat tahun menjadi tidak suka mengabarkan Injil, jangan melarikan diri dari teguran seperti ini karena orang yang menegur seperti ini, seperti apa yang kamu dengar hari ini sudah semakin sedikit. Kita mengutamakan yang bukan diutamakan oleh Tuhan, dan kita tidak mengutamakan yang diutamakan oleh Tuhan.
Saya harap dalam sepuluh tahun Jakarta bertambah tiga ribu gereja. Dan satu gereja kalau ada seribu orang, tiga ribu gereja baru tiga juta, sedangkan PBB menghitung Indonesia, ibukotanya setiap tahun paling sedikit tujuh ratus – satu juta manusia tambahnya, di dalam sepuluh tahun Indonesia dengan ibukota yang kira-kira lima belas juta manusia, sampai dua puluh juta manusia, berarti orang yang tambah di Jakarta sampai 2025 bisa tiga puluh juta, kalau sepuluh tahun tambah tiga juta, kita masih hutang, tetapi pendeta-pendeta di gereja tidak hitung, mereka hanya hitung di gereja saya dulu tiga ratus sekarang lima ratus. Puji Tuhan, berarti sudah bertumbuh. Pertumbuhan itu dihitung persentasi berarti itu membuktikan kita masih belum mengerti kehendak Tuhan. Kita melihat, kalau bankir-bankir melihat perkembangannya mengikut pasaran berapa persen dia tahu, tapi pemimpin Kristen tidak sadar. Pendeta- pendeta menggembalakan satu juta orang Kristen di Indonesia, sudah dua puluh tahun, seluruhnya digabung tambah dua ratus ribu sudah senang, tapi penduduk tambah sepuluh juta. Yang menginjil tidak banyak, pertumbuhan makin merosot, inikah Kekristenan? Penginjilan yang dilakukan oleh saya sekarang mungkin mendapat tantangan lebih banyak, karena saya sudah mendirikan gereja. Namun dukungan tidak pernah dari manusia, dukungan selalu dari Tuhan. KKR yang saya pimpin tidak pernah menaruh alamat gereja saya, tak pernah umumkan kebaktian saya, karena penginjilan adalah untuk sekota. Dan setelah selesai, masing-masing bebas pergi kemana saja, karena penginjilan bukan bermotivasi menambah anggota saya. Kita menginjili zaman kita, kota kita, bukan untuk mempekembangkan diri kita.
Saudara-saudara saya harap selama saya masih hidup, boleh terus memberitakan Yesus Kristus sungguh-sungguh Juru Selamat. Dia betul-betul Anak Allah, yang diwahyukan dan dinubuatkan oleh para nabi Perjanjian Lama. Dia yang menggenapi semua janji bagi umat manusia, dan satu-satunya penanggung dosa manusia. Dia satu-satunya yang mati bukan karena dosa sendiri, namun untuk menanggung dosa manusia. Dia satu-satunya yang bangkit daripada orang mati, karena kuasa-Nya melampaui kuasa maut dan kuasa dosa. Selain Dia, tidak ada juru selamat yang lain. Terakhir kali kita mengadakan KKR di Stadion Utama adalah tahun 2003. Saya mengundang Bapak Agus Lai menjadi ketua. Saat itu saya ditegur oleh Tuhan, karena sebelumnya dua kali tema KKR saya adalah “Apakah ini makna hidupku?” dan sebagainya. Akhirnya suatu teguran dari Tuhan, kenapa tidak berani langsung katakan Yesus Juru selamat? Kenapa engkau harus pakai cara supaya menarik lebih banyak orang?, maka tahun 2003 saya mengatakan, temanya adalah “Yesus Kristus Juruselamat Dunia”. Saudara-saudara, biar Injil dikabarkan, saya hanya mau kita berdoa bersama, supaya kehendak Tuhan yang jadi, nama-Nya dipermuliakan, kerajaan-Nya tiba, kehendak-Nya terjadi, karena semua kuasa, kerajaan dan kemuliaan hanya dimiliki oleh Tuhan. Amin.
Saat itu ada seorang pendeta yang unik datang ke Indonesia. Pendeta itu seumur hidupnya memanggil orang menjadi hamba Tuhan. Saya menghadiri retreat yang dipimpin oleh Pendeta tersebut untuk menyenangkan hati mama saya. Hari itu menjadi pergumulan paling berat selama tujuh belas tahun saya hidup di dunia. Meskipun khotbah Pendeta itu menyentuh, namun iman Kristen sudah saya buang. Hanya mama saya, yang sejak saya berumur tiga tahun telah menjadi janda, tetap setia mendoakan saya. Apakah saya harus kembali kepada iman yang menurut saya saat itu sudah kuno, sudah digugurkan oleh ilmu, sudah ditolak oleh orang modern. Saya tidak berani dan malu berdoa di kamar, karena banyak orang ikut camp. Maka saya berlutut di kamar mandi, diatas ubin yang basah. Saya berdoa, “Tuhan kalau malam ini ternyata Engkau hidup, panggil saya dengan kuasa-Mu. Jika saya tidak sanggup melawan-Mu, maka saya akan seumur hidup setia sampai mati. Jikalau tidak ada panggilan jelas dan ternyata Engkau tidak bicara pada saya, saya akan lolos dan seumur hidup tidak lagi mengenal Engkau”. Dengan air mata saya bergumul kepada Tuhan. Lalu malam itu saya ikut kebaktian. Ada peserta yang bicara, tertawa, namun saya diam, tenang dan serius. Saya mau melihat bagaimana Tuhan bekerja. Kursi seperti lebih keras dari biasa, suasana lebih dingin dari biasa, waktu lewat lebih pelan dari biasa. Atheismekah atau Theisme?, Pagankah atau Christian?, Komunismekah atau Kristen?, Evolusikah atau Creation? Ini adalah saat penentu. Disatu sisi ada orang-orang Kristen yang mencintai Tuhan, yang hidupnya sangat saya kagumi. Disisi lain, fakta mengenai filsafat-filsafat mutakhir juga tidak bisa saya tolak.
Pendeta yang berkhotbah bagi saya berteriak-teriak mewakili teriakan terakhir sebelum Kristen mati. Teriakan yang mewakili status sebagai antek-antek Imperialisme yang merampas kebebasan manusia berpikir dan mempelopori racun barat untuk membuka jalan bagi meriam Imperialisme. Dengan mata yang miring saya melihat dia dan dengan sikap pertarungan dalam hati untuk menentukan nasib saya seumur hidup. Khotbah hari itu adalah mengenai lima suara,
Suara pertama adalah suara Allah Bapa. “Siapa yang boleh aku utus”, Firman-Nya. Lalu jawaban dari Yesaya, “disini saya, utuslah saya”. Jawaban dari Tuhan Allah, “Saya akan mengirim engkau untuk memberitakan Firman yang tidak diterima oleh orang lain. Saya akan mengirim engkau pergi kepada bangsa-bangsa yang keras hati”. Wah ini paradoks sekali, tetapi kelihatan ada makna tertentu yang saya perlu pelajari lagi.
Suara kedua adalah suara Anak Allah yang berkata “Tuaian sudah masak, pergilah menuai sebelum waktu lewat dan pergi ke seluruh dunia kabarkan Injil jadikan segala bangsa muridku”. ini suara dari pada anak Allah,
Suara ketiga adalah suara ROH KUDUS diambil dari wahyu, mengenai barang siapa yang rela meminum air hidup akan diperanakkan pula, karena Injil adalah kuasa Allah untuk menyelamatkan setiap orang yang percaya.
Suara keempat adalah suara Rasul. “Jikalau aku tidak mengabar Injil, celakalah aku”, kata Paulus. karena beban ini sudah diberikan kepada aku dan jika aku dengan rela mengerjakannya ada pahala bagiku, rela, terpaksa, terpaksa, rela, aku harus rela memaksa diriku untuk melayani Injil atau aku harus memaksa diri untuk rela melayani?, ini paradoks lagi.
Suara kelima adalah suara dari Neraka. ini yang membuat saya sangat terkejut. Saya tidak pernah mendengar ada suara pekabaran Injil dari neraka. Siapapun pendeta tidak mengkhotbahkan dari neraka ada orang memanggil manusia mengabar Injil. Dia mengambil ayat dari Lukas 16. Abraham disuruh mengirim orang pergi memberitakan Injil kepada saudara orang kaya yang dihukum, supaya mereka tidak datang ke neraka. Abraham mengatakan bahwa hal itu tidak bisa. Yang kaya mengatakan kalau Abraham meminta lazarus yang pergi, mereka akan percaya. Ini adalah strategi penginjilan dari neraka. Saran neraka, suara neraka, strategi neraka pakai mujizat orang akan percaya. Sekarang di dalam Kekristenan ada dua arus. Yang menekankan Firman dalam penginjilan, dan yang menekankan mujizat. Banyak pendeta sudah jatuh dalam takhyul, tanpa pakai mujizat tidak akan ada orang yang menerima Firman Tuhan. Abraham diminta kirim Lazarus, kalau kirim Billy Graham percuma, mereka tidak ada mujizat. Kalau Lazarus yang berkhotbah karena dia sudah bangkit daripada kematian, maka lima saudaraku menjadi percaya. Saran ini terlihat amat bagus, namun bukan strategi Tuhan. Kesulitan sekarang adalah pemimpin gereja tidak peka lagi strategi dari Tuhan. Ide yang disarankan dari neraka ditolak oleh Abraham, karena sudah ada Firman dalam dunia. Dialog berhenti, diskusi strategi antara neraka dan surga berhenti disitu, Alkitab tidak meneruskan lagi. Lalu kita melihat selama 2000 tahun penginjilan dilakukan ke seluruh dunia, melalui apa? Strategi sorga atau nereka?
Mujizat terbesar adalah melalui percaya kepada Yesus Kristus, orang berdosa bertobat, orang yang mati rohani dapat hidup kembali dan menjadi anak Tuhan yang jujur dan setia. Setelah mendengar khotbah itu, ROH KUDUS bekerja dalam hati saya. Saya mulai bereaksi. Man is not what he thinks, man is not what he feels, man is not what he behaves, itu semua psikologi dunia yang kosong. Man is equal to what he reacts before God. You will be counted in eternity as what you react to God, when you’re living in this earth. Saya harus bagaimana bereaksi kepada Tuhan, akhirnya dapat suatu suara yang sangat dahsyat dalam hati. Kalau engkau tidak mengabarkan injil, maka engkau lebih kalah dari orang di dalam neraka, orang yang jatuh di dalam neraka masih mengharapkan saudaranya diselamatkan. Meskipun strateginya salah, tetapi keinginan mereka supaya saudara sekandung mereka diselamatkan lebih besar cinta daripada engkau yang tidak mengabarkan injil. Teguran yang dahsyat ini membuat saya sadar, dan akhirnya air mata mengalir terus, sampai pakaian depan semua basah kuyup. Saya berkata Tuhan ,” Hari ini saya janji, seumur hidup menjadi hamba-Mu, mengabarkan Injil, dan setelah Tuhan menjawab semua pertanyaan saya, mengenai Evolusi, mengenai Atheisme, Dialektical Materialisme, Komunisme, saya akan ke seluruh dunia menjawab pertanyaan, kesulitan yang menghambat orang lain menjadi orang Kristen. Apologetika yang melayani penginjilan,dan teologi Reformed yang solid, menjadi satu senjata di dalam tangan saya untuk pergi menjelajah.
Sekarang sudah 51 tahun saya sudah pernah berkhotbah kepada kira-kira 30 juta manusia di dalam lebih dari pada 29 ribu kali kebaktian. Menjelajah kira-kira 600 kota di dalam 51 tahun. Dalam usia 68, saya masih naik kapal terbang satu tahun 300 kali, berkhotbah 500 kali, dan diantaranya kira-kira 40 hari minggu di Indonesia, negara yang saya cintai. Bagaimana beratpun, tetap harus menginjili. Kekristenan harus malu, karena bioskop mainkan cerita fiksi, namun tiap hari terus main. Gereja yang menyatakan kebenaran, tidak tiap hari mengabar Injil. Kepada Tuhan kita menyembah , kepada sesama saling mengasihi, kepada dunia kita menginjili. Jikalau gereja tidak menginjili lagi, maka fungsi eksistensinya berhenti dalam dunia ini. Itu sebabnya gerakan Reformed Injili diadakan, untuk memberitakan Firman yang berbobot, berkualitas, dan yang setia kepada Alkitab ke dalam, serta mengabarkan Injil yang murni dan setia keluar.
Apakah hari ini kita masih berbeban untuk penginjilan? Waktu di London tahun 1977, saya melihat satu iklan di muka sebuah bioskop mengenai pertunjukan berjudul Jesus Christ superstar. Tertulis dibawahnya sudah tahun ketujuh, tiap hari dipentaskan. Satu tahun 365 hari, tujuh tahun berturut-turut melawan Yesus dengan nama Jesus Christ superstar. Pementasan yang memfitnah Yesus adalah homoseks, maka semua muridnya laki-laki. Akhirnya seorang murid yang paling cinta pada Dia dan tidak berhasil mendapat cinta-Nya, menjual Dia dengan 30 uang perak. Film yang begitu rusak, yang demikian memfitnah Kekristenan, bisa main selama tujuh tahun dan tiap hari ada penonton. Adakah gereja yang berani mengatakan Jesus Christ is the true saviour of the Lord, setiap hari mengabarkan injil selama tujuh tahun?
Kita harus sedih, karena gereja yang mengabarkan Injil murni, Yesus Juru selamat, Kristus penanggung dosa, khotbah seperti ini sudah hampir hilang. Diganti dengan siapa percaya Tuhan akan mendapat mujizat, saya percaya Tuhan akan mendapatkan kesembuhan, saya percaya Tuhan akan menjadi kaya. Ini adalah teologi sukses, teologi berhasil, teologi makmur yang merajalela. Sedang teologi salib, teologi kebangkitan, teologi Kristus menjalankan hukuman mengganti manusia sudah hilang. Kita masih berani menamakan diri Kristen, pengikut Kristus, orang Injili, Alkitabiah.
Begitu banyak pemuda pemudi yang kita panggil, kemudian mereka mulai mengabarkan Injil. Namun setelah lulus dari sekolah teologi mereka menjadi tidak mengabarkan Injil. Saya sudah teriak ini di benua-benua yang lain berapa besar hukuman yang akan ditimpakan pada rektor-rektor dan dosen-dosen Teologi yang menjadikan orang yang suka mengabarkan Injil setelah belajar empat tahun menjadi tidak suka mengabarkan Injil, jangan melarikan diri dari teguran seperti ini karena orang yang menegur seperti ini, seperti apa yang kamu dengar hari ini sudah semakin sedikit. Kita mengutamakan yang bukan diutamakan oleh Tuhan, dan kita tidak mengutamakan yang diutamakan oleh Tuhan.
Saya harap dalam sepuluh tahun Jakarta bertambah tiga ribu gereja. Dan satu gereja kalau ada seribu orang, tiga ribu gereja baru tiga juta, sedangkan PBB menghitung Indonesia, ibukotanya setiap tahun paling sedikit tujuh ratus – satu juta manusia tambahnya, di dalam sepuluh tahun Indonesia dengan ibukota yang kira-kira lima belas juta manusia, sampai dua puluh juta manusia, berarti orang yang tambah di Jakarta sampai 2025 bisa tiga puluh juta, kalau sepuluh tahun tambah tiga juta, kita masih hutang, tetapi pendeta-pendeta di gereja tidak hitung, mereka hanya hitung di gereja saya dulu tiga ratus sekarang lima ratus. Puji Tuhan, berarti sudah bertumbuh. Pertumbuhan itu dihitung persentasi berarti itu membuktikan kita masih belum mengerti kehendak Tuhan. Kita melihat, kalau bankir-bankir melihat perkembangannya mengikut pasaran berapa persen dia tahu, tapi pemimpin Kristen tidak sadar. Pendeta- pendeta menggembalakan satu juta orang Kristen di Indonesia, sudah dua puluh tahun, seluruhnya digabung tambah dua ratus ribu sudah senang, tapi penduduk tambah sepuluh juta. Yang menginjil tidak banyak, pertumbuhan makin merosot, inikah Kekristenan? Penginjilan yang dilakukan oleh saya sekarang mungkin mendapat tantangan lebih banyak, karena saya sudah mendirikan gereja. Namun dukungan tidak pernah dari manusia, dukungan selalu dari Tuhan. KKR yang saya pimpin tidak pernah menaruh alamat gereja saya, tak pernah umumkan kebaktian saya, karena penginjilan adalah untuk sekota. Dan setelah selesai, masing-masing bebas pergi kemana saja, karena penginjilan bukan bermotivasi menambah anggota saya. Kita menginjili zaman kita, kota kita, bukan untuk mempekembangkan diri kita.
Saudara-saudara saya harap selama saya masih hidup, boleh terus memberitakan Yesus Kristus sungguh-sungguh Juru Selamat. Dia betul-betul Anak Allah, yang diwahyukan dan dinubuatkan oleh para nabi Perjanjian Lama. Dia yang menggenapi semua janji bagi umat manusia, dan satu-satunya penanggung dosa manusia. Dia satu-satunya yang mati bukan karena dosa sendiri, namun untuk menanggung dosa manusia. Dia satu-satunya yang bangkit daripada orang mati, karena kuasa-Nya melampaui kuasa maut dan kuasa dosa. Selain Dia, tidak ada juru selamat yang lain. Terakhir kali kita mengadakan KKR di Stadion Utama adalah tahun 2003. Saya mengundang Bapak Agus Lai menjadi ketua. Saat itu saya ditegur oleh Tuhan, karena sebelumnya dua kali tema KKR saya adalah “Apakah ini makna hidupku?” dan sebagainya. Akhirnya suatu teguran dari Tuhan, kenapa tidak berani langsung katakan Yesus Juru selamat? Kenapa engkau harus pakai cara supaya menarik lebih banyak orang?, maka tahun 2003 saya mengatakan, temanya adalah “Yesus Kristus Juruselamat Dunia”. Saudara-saudara, biar Injil dikabarkan, saya hanya mau kita berdoa bersama, supaya kehendak Tuhan yang jadi, nama-Nya dipermuliakan, kerajaan-Nya tiba, kehendak-Nya terjadi, karena semua kuasa, kerajaan dan kemuliaan hanya dimiliki oleh Tuhan. Amin.
Selasa, 13 November 2012
"Maafkan aku Ayah" ( Renungan Motivasi Kristen )
05.08
3 comments
Empat
tahun yang lalu, telah terjadi kecelakaan yang merenggut seorang
wanita. Wanita ini telah meninggalkan suami dan anaknya. Tinggallah
Suaminya, Samuel yang mengasuh anaknya perempuan semata wayang. Samuel
merasa tidak mampu selama mengurus anaknya setelah kepergian istrinya
tercinta.
Pada suatu hari, ada urusan penting di tempat kerja,
hingga Samuel harus segera berangkat ke kantor, Sedang Rahel, anaknya,
masih tertidur. Samuel harus menyiapkan makanan buat anaknya sebelum ia
pergi ke kantor. Karena masih ada sisa nasi, jadi Samuel hanya
menggoreng telur untuk dia makan. Setelah memberitahu anaknya yang masih
mengantuk, kemudian ia bergegas berangkat ke tempat kerja. Peran ganda
yang ia jalani, membuat energinya benar-benar terkuras. Suatu hari
ketika Samuel pulang kerja, ia merasa sangat lelah, setelah bekerja
sepanjang hari. Hanya sekilas ia memeluk dan mencium anaknya, Samuel
langsung masuk ke kamar tidur, dan melewatkan makan malam. Namun, saat
Samuel merebahkan badannya ke tempat tidur dengan maksud untuk tidur
sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang pecah
dan tumpah seperti cairan hangat! Samuel langsung membuka selimut dan
dari sinilah sumber masalah'nya. Sebuah mangkuk yang pecah dengan mie
instan yang berantakan di seprai dan selimut!
Samuel begitu marah,
ia lalu mengambil gantungan pakaian, dan langsung menghujani anaknya
yang sedang gembira bermain dengan mainannya. Dengan kalap Samuel
memukul tanpa tahu duduk masalahnya. Rahel hanya menangis, sedikitpun
tidak meminta belas kasihan, dia hanya memberi penjelasan singkat:
"Yah, tadi aku merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tapi ayah
belum pulang, jadi aku ingin memasak mie instan. Aku ingat, ayah pernah
mengatakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada
orang dewasa di sekitar, maka aku menyalakan mesin air minum ini dan
menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk ayah dan yang satu
lagi untuk saya. Karena aku takut mienya akan menjadi dingin, jadi aku
menyimpannya di bawah selimut supaya tetap hangat sampai ayah pulang.
Tapi aku lupa untuk mengingatkan ayah karena aku sedang bermain dengan
mainan saya ... Saya minta maaf, yah ... "
Seketika, air mata mulai
mengalir di pipi Samuel.... tetapi, ia tidak ingin anaknya melihat
ayahnya menangis maka Samuel berlari ke kamar mandi dan menangis dengan
menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara tangisnya. Setelah
beberapa lama kemudian, ayahnya menghampiri anaknya, memeluknya dengan
erat dan memberikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan dipantatnya.
Samuel lalu membujuknya untuk tidur. Kemudian dengan berlinang airmata
Samuel membersihkan kotoran tumpahan mie di tempat tidur. Ketika
semuanya sudah selesai dan lewat tengah malam, ia melewati kamar
anaknya, dan Samuel melihat anaknya masih menangis, bukan karena rasa
sakit di pantatnya, tapi karena dia sedang melihat foto ibunya yang
dikasihinya.
Satu tahun telah berlalu sejak kejadian itu,
Samuel berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka dan memusatkan
perhatian dengan memberinya kasih sayang sebagai seorang ayah. Tanpa
terasa, Rahel sudah berumur tujuh tahun, dan akan lulus dari Taman
Kanak-kanak. Untungnya, insiden yang terjadi pada masa lalu itu tidak
meninggalkan kenangan buruk di masa kecilnya dan dia sudah tumbuh
sebagai anak yang bahagia.
Tahun lalu telah berlalu, namun Samuel
lupa dengan apa yang ia perbuat tahun lalu. Sehingga ia masih melupakan
masa lalu antara ayah dan anaknya.
Guru Taman Kanak-kanaknya
memangginya dan memberitahukan bahwa anaknya absen dari sekolah. Samuel
harus pulang kerumah lebih awal dari kantor, ia berharap bisa
menjelaskan dari anaknya. Tapi ia tidak ada dirumah, ia lalu pergi
mencari di sekitar rumah. Samuel mencari dan memanggil di sekitar
lingkungannya. Ia memangil-manggil namanya dan akhirnya menemukan
dirinya di sebuah toko alat tulis, anaknya sedang bermain komputer game
dengan gembira. Samuel begitu marah, ia membawanya pulang dan
menghujaninya dengan pukulan-pukulan dengan rotan. Rahel hanya terdiam
dan ia lalu mengatakan, "Aku minta maaf, Ayah"
Selang beberapa lama
kemudian Samuel menyelusuri kenapa Rahel berbuat demikian. Ternyata ia
absen dari acara "pertunjukan bakat" yang diadakan oleh sekolah, karena
yg diundang adalah siswa dengan ibunya. Dan itulah alasan ketidak
hadirannya karena ia tidak mempunyai ibu. maka hancurlah hati Samuel
dengan apa yang dialami oleh anaknya. Samuel yakin, jika ibunya masih
ada dan melihatanya ia akan merasa bangga.
Beberapa hari
setelah penghukuman Samuel dengan pukulan rotannya. Rahel pulang ke
rumah dengan memberitahu Ayahnya, bahwa disekolahnya mulai diajarkan
cara membaca dan menulis. Sejak saat itu, Rahel lebih banyak mengurung
diri di kamarnya untuk berlatih menulis. Kembali Samuel hanya bisa
menitikan air mata saat mengintip anaknya yang sedang belajar menulis.
Waktu berlalu dengan begitu cepat, satu tahun telah lewat. Keceriaan
Rahel ada juga di hati setiap orang ... tapi astaga, Rahel membuat
masalah lagi. Ketika ayahnya sedang menyelasaikan pekerjaan di hari-hari
terakhir kerja, tiba-tiba kantor pos menelpon. Karena pengiriman surat
sedang mengalami puncaknya, tukang pos sedang sibuk-sibuknya, dibuat
heboh dengan ulah Rahel
Mereka menelpon Samuel dengan marah-marah
untuk memberitahu bahwa anaknya, saya telah mengirim beberapa surat
tanpa alamat. Walaupun saya sudah berjanji untuk tidak pernah memukul
anak saya lagi, tetapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya
lagi, karena Samuel merasa bahwa anaknya ini sudah benar-benar
keterlaluan. Tapi dengan sekian lagi,ia hanya berkata: "Maaf,Ayah".
Tidak ada tambahan apa pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu.
Esoknya Samuel pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat yang
tanpa alamat itu untuk dibawa pulang. Sesampai di rumah, dengan
marahSamuel mendorong anaknya dan mempertanyakan kepadanya, apa yang
telah kamu lakukan? Apa yang ada dipikiranmu?
Rahel hanya terisak dan menjawab: "Surat-surat itu untuk Mama.".
Samuel merasa badannya merasa lemas, matanya berkaca-kaca..... tapi
Samuel mencoba mengendalikan emosi dan terus bertanya kepadanya: "Tapi
kenapa kamu memposkan begitu banyak surat-surat, pada waktu yg sama?"
Rahel berkata sambil menangis dan tertunduk : "Aku telah menulis surat
buat mama setiap hari. Tapi setiap kali aku mau menjangkau kotak pos
itu,lubangnya terlalu tinggi bagiku, sehingga aku tidak dapat memposkan
surat-suratku. Tapi baru-baru ini, ketika aku kembali ke kotak pos, aku
bisa mencapai kotak itu dan aku mengirimkannya sekaligus".
Setelah
mendengar penjelasannya ini, Samuel hanya memalingkan wajahnya dan
merasa malu dan tidak tahu apa yang harus yang ia lakukan.
Ia hanya
bilang pada anaknya, "Nak, Mama sudah berada di surga, untuk menuliskan
sesuatu buat mama, cukup dengan berdoa agar Tuhan yang menyampaikan
balasAn suratmu itu. Setelah mendengar hal ini, Rahel jadi lebih tenang,
dan ia bisa tidur dengan nyenyak. Samuel berjanji untuk berdoa agar
bisa menjadi ayah yang baik buat anaknya yang ia kasihi. Ada satu surat
yang membuat hati Samuel hancur
'Mama sayang:
Saya sangat merindukanmu! Hari ini, ada sebuah acara 'Pertunjukan Bakat'
di sekolah, dan mengundang semua ibu untuk hadir di pertunjukan
tersebut. Tapi kamu tidak ada, jadi saya tidak ingin menghadirinya juga.
Aku tidak memberitahu ayah tentang hal ini karena aku takut ayah akan
mulai menangis dan merindukanmu lagi.
Saat itu untuk
menyembunyikan kesedihan, aku duduk di depan komputer dan mulai bermain
game di salah satu toko. Ayah keliling-keliling mencari saya, setelah
menemukanku ayah marah, dan aku hanya bisa diam, ayah memukul aku,
tetapi aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya.
Mam,
setiap hari saya melihat ayah selalu merindukanmu, setiap kali dia
teringat padamu, ia begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di
kamarnya. Saya pikir kita berdua amat sangat merindukanmu. Terlalu berat
untuk kita berdua, itu yang kami alami,mam. Tapi mam, aku mulai lupa
dengan wajahmu. Bisakah mama muncul dalam mimpiku sehingga saya dapat
melihat wajahmu dan ingat pada mama? Temanku bilang jika kau tertidur
dengan foto orang yang kamu rindukan, maka kamu akan melihat orang
tersebut dalam mimpimu. Tapi mama, mengapa engkau tak pernah muncul?
Betapa hancur hati Samuel Setelah membaca surat itu, tangisnya tidak
bisa berhenti karena ia merasa gagal sebagai orang tua tunggal. Apalagi
ia mengingat dengan kelakuan nya yang terlalu emosi, maka makin tak
terbendung air matanya.
Catatan
Untuk para orang tua
yang telah dianugerahi anak yang penuh kasih, berterima-kasihlah setiap
hari padanya. Karena orang yang kita kasihi telah rela menghabiskan sisa
umurnya untuk menemani hidup kita, membantu, mendukung, dan selalu
setia menunggu kita.Jika kita terlalu emosional akan membuat orang yang
kita sayangi akan membuat hatinya terluka. Dengan kisah ini semoga
membuka hati dan akan berjanji kelak untuk menjadi orang tua yang penuh
kasih dan yang selalu perhatian untuk buah hati kita.
Amen
Tuhan Memberkati
Kisah pengemis dan 3 bungkus nasi
03.05
No comments
Alkisah
ada tiga orang pengemis yang sedang beristirahat sambil merebahkan diri
di sebuah emperan toko. Mereka memutuskan berhenti sejenak karena malam
sudah begitu larut, ditambah hujan yang turun sangat deras sejak siang
hari. Lelah, lapar dan lesu telah membuat mata mereka mengantuk,
danlangs ung terlelap dalam mimpi.
Saat
terbangun dari tidur keesokan harinya, ketiga pengemis itu dikejutkan
oleh tiga bungkus nasi hangat yang telah diletakkan oleh seseorang pada
saat mereka masih tertidur. Entah siapa yang meletakkan, bagi mereka hal
itu tidak begitu penting. Yang ada di pikiran mereka hanyalah nasi
hangat itu tentu sangat nikmat disantap.
Pengemis pertama merasa senang luar biasa. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menyantap nasi bungkus tersebut
dengan lahapnya. Perutnya memang kosong, sejak kemarin belum terisi
makanan. Setelah selesai menikmati hidangan nasi bungkus dan merasa
kenyang, dia pun kembali tidur.
Pengemis
kedua juga merasa senang, namun di dalam hatinya terus bertanya,
siapakah gerangan orang yang telah bermurah hati mau memberi mereka
rezeki di pagi hari ini. Namun saat ia membuka bungkus nasi dan hanya
menemukan nasi dengan lauk sebutir telur dan sedikit sayur, ia agak
kecewa. Dia mengguman hati, “kenapa isi lauknya bukan ayam. Memberikan
rejeki kok tanggung-tanggung”. Sambil terus bertanya dia pun mulai
menikmati dan menghabiskan nasi bungkus tersebut.
Pengemis
ketiga, dia juga merasa senang dengan rezeki yang diterimanya pagi itu.
Sebelum membuka nasi bungkus itu, terlebih dahulu ia mengangkat kedua
belah tangannya, dan mengucap syukur kepada Sang Pemberi Rezeki. Dia
mendoakan semoga orang yang bermurah hati dan memberikan nasi bungkus
itu diberikan rezeki yang berlebih oleh Sang Pencipta. Setelah selesai
berdoa, barulah dia nikmati nasi terebut dengan lahap.
Dengan
menggunakan analogi di atas, saya mengajak Anda untuk memilih, dari
ketiga pengemis tersebut mana yang paling Anda sukai? Pasti jawaban Anda
adalah pengemis ketiga.
Cerita
di atas mengajarkan kita bagaimana kita perlu bersyukur pada saat
menerima pemberian orang. Menurut orang bijak, yang membuat kita banyak
tenggelam dalam derita adalah, kurangnya mensyukuri nikmat yang telah
dikaruniakan.
Marilah
kita nikmati segala karunia dengan penuh rasa syukur. Selain akan
menjadi amal, syukur akan membuat hidup lebih ringan dan indah. Syukur
akan nikmat ini lebih besar dari seluruh harta dunia dan seisinya.
Memiliki
jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya, sehingga tidak ada
ambisi yang berlebihan, dan jauh dari stres. Berbahagialah orang yang
pandai bersyukur!
Senin, 05 November 2012
Renungan Motivasi Kristen Dengan Doa Melegakan Hati
05.37
No comments
Dr.
Lin Ting Tung adalah orang Taiwan pertama yang menjadi dokter dan
menjadi Kristen. Ini terjadi pada akhir abad ke-19. Ia bekerja di rumah
sakit kecil yang
dirintis oleh Dr. Maxwell,seorang misionaris
Inggris. Ketika itu tingkat kesehatan masyarakat di Taiwan sangat rendah
dan cara pengobatan masih sangat
sederhana. Pada suatu hari seorang
anak datang ke rumah sakit itu dan meminta obat untuk ibunya yang
sedang demam akibat malaria. Anak ini berjalan lebih dari dua jam dari
desanya ke rumah sakit melalui jalan setapak melewati hutan dan sawah.
Ketika nama ibunya dipanggil, anak ini langsung bangkit dari
bangkunya,meraih botol obat dan bergegas pulang. Sore harinya pukul lima
, ketika kamar obat akan ditutup, seorang perawat tampak bingung dan
berbisik, "Dokter Lin,botol obat untuk pasien malaria masih ada disini.
Tetapi ada satu botol yang hilang. Isinya disinfektan. Dr. Lin
terkejut,diperiksanya botol yang tertinggal, benar isinya obat malaria.
Jadi, anak tadi membawa botol yang salah! Botol-botol dikamar obat itu
memang berbentuk sama dan berwarna sama pula, baik obat malaria maupun
disinfektan sama-sama cairan. "Celaka kita. ibu itu bisa mati.
Disinfektan itu obat keras pembunuh kuman untuk kamar operasi. Kalau
sampai diminum, usus bisa terbakar dan orang itu akan mati" ujar Dr. Lin
dengan wajah pucat. Segera mereka
melaporkan peristiwa ini kepada
Dr.Maxwell. Ia juga terkejut. "Sekarang pukul lima , anak itu pergi dari
sini pukul tiga jadi Ia sudah hampir tiba. Tidak mungkin kita
mengejarnya. Kita tidak tahu jalan kedesa itu" ujar Dr.Maxwell.
Dr.
Maxwell termenung. lalu ia berkata, "Mulai hari ini semua obat keras
tidak boleh diletakkan diatas meja. Sekarang panggil semua karyawan
untuk berkumpul.Kita
akan berdo'a." Begitulah semua orang yang
bekerja di rumah sakit itu berkumpul dan berdo'a. Dr. maxwell berdo'a,
"Tuhan, kami telah membuat kecerobohan. Ampunilah
kami.Nyawa seorang
ibu sedang terancam. Tolonglah dia, cegahlah dia agar tidak meminum
obat yang salah itu......" Setelah berdoa mereka melakukan aktivitas
sepati biasa. Dr. Maxwell dan Dr. Lin hanya menyerahkan kejadian ini
kepada Tuhan.
Malam harinya Dr. Lin berdinas malam. Ia harus
bertanggung jawab atas kematian ibu ini. Esok harinya, ketika masih
subuh pintu diketuk. Ternyata itu anak yang kemarin membawa botol yang
keliru. Mukanya pucat ketakutan. Dr. Lin juga takut. Kedua orang itu
berdiri saling memandang dengan gugup. Kemudian anak itu berkata, "Ma'af
dokter. Kemarin saya bawa botol itu sambil berlari, lalu saya jatuh
botol itu pecah dan isinya tumpah". Dr. Lin yang masih terpaku karena
gugup langsung bertanya, Kapan Jatuhnya? anak itu menjadi makin
ketakutan, "Ma'af, dokter, saya baru datang sekarang. jatuhnya kemarin
sore, menjelang gelap," Dr. Lin langsung ingat : Menjelang gelap....itu
adalah saat ketika semua karyawan rumah
sakit berkumpul mendo'akan
ibu anak ini! Jiwa ibu anak ini tertolong, isi botol yang salah itu
tidak sampai terminum, karena botol itu pecah ditengah jalan.
Dengan keadaan yang tenang Dr. Lin lalu akan menggantikan obat yang baru
untuk ibu dari anak tersebut. Setelah perginya anak itu,tiada
henti-hentinya Dr. Lin mengucap syukur dengan pertolongan Tuhan. Begitu
juga dengan anak tersebut, ia sangat bahagia ketika melihat ibunya sudah
mulai membaik dari penyakit malaria.
Melalui kisah ini , kita
bisa melihat cara-cara Tuhan bekerja. Bahkan dengan cara Dia bekerja
tidak akan ada yang saling mempersalahkan satu sama lain. Bayangkan,
apabila sampai obat yang salah itu di berikan kepada ibu dari anak
tersebut? Apakah dirumah sakit tidak ada yang saling melemparkan
tanggung jawab. Langkah sebagai orang percaya disaat ketakutan melanda
kita adalah dengan doa, seperti yang dilakukan Dr. Maxwell. Hanya dengan
Doalah maka kejadian yang paling ditakutkan akhirnya bisa diselesaikan
dan bahkan akan melegakan hati. semoga kisah yang singkat ini akan
menjadi pelajaran yang berarti buat kita semua.
Amen....
Tuhan Yesus Memberkati kita semua
Sabtu, 03 November 2012
Renungan Motivasi KristenSekantong Beras Demi Anak
05.57
No comments
Orang
yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya. Jadi, berikan
dorongan semangat buat sesama karena semangat dapat memacu orang untuk
terus maju
Ada sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki
seorang anak laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan
anak laki-lakinya untuk saling menopang. Ibunya bersusah payah seorang
diri membesarkan anaknya, saat itu kampung tersebut belum memiliki
listrik. Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu
minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang
anak. Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah
atas. Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang
parah sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah. Dimana setiap bulannya
murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kg beras untuk dibawa kekantin
sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibuya tidak mungkin bisa memberikan
tiga puluh kg beras tersebut.
Dan karena mengerti dengan keadaan
ekonomi mereka, sang anak kemudian berkata kepada ibunya: ” Ma, saya mau
berhenti sekolah dan membantu mama bekerja disawah”. Ibunya mengelus
kepala anaknya dan berkata, “Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah
senang sekali tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau
mama sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu.
Cepatlah pergi daftarkan kesekolah nanti berasnya mama yang akan bawa
kesana”.
Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan
kesekolah, mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama
kalinya sang anak ini dipukul oleh mamanya. Sang anak akhirnya pergi
juga kesekolah. Sang ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati
sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh.
Tak berapa lama,
dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa Ibunya datang kekantin
sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya.
pengawas yang
bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil
segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata, ”Kalian para wali murid
selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, disini isinya
campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat
penampungan beras campuran”. Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali
meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut. Pengawas kantinpun hanya bisa
menerima dengan hati yang kecewa.
Awal Bulan berikutnya sang
ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam kantin. Ibu pengawas
seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan
melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata: “Masih dengan
beras yang sama”. Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum
berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata : “Tak perduli beras
apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah
jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa
matang sempurna. Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa
menerimanya”.
Sang ibu sedikit takut dan berkata, “Ibu pengawas, beras dirumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana?”
Pengawas itu pun tidak mau tahu dan berkata, “Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam bermacam-macam jenis beras”.
Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.
Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas
kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata, “Kamu sebagai
mama kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang
sama. Bawa pulang saja berasmu itu !”.
Dengan berlinang air mata
sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata: “Maafkan
saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis”. Setelah
mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk diatas lantai, menggulung
celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan
membengkak.
Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: “Saya
menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah,
apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau
berhenti sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang
dan menyuruhnya bersekolah lagi.”
Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya.
Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat
pergi ke kampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap
pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua
beras yang terkumpul diserahkan kesekolah.
Pada saat sang ibu
bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas itupun mulai mengalir,
kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata: “Bu sekarang
saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan
untuk keluarga ibu.”
Sang ibu buru- buru menolak dan berkata,
“Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya,
maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu
sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas,
tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini.”
Akhirnya masalah ini
diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam- diam kepala sekolah
membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga
tahun. Setelah Tiga tahun kemudian, sang anak tersebut lulus masuk ke
perguruan tinggi qing hua dengan nilai 627 point.
Dihari perpisahan
sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk
diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang
mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang. Yang
lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras. Pengawas
sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah sang ibu
ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah. Kepala sekolah pun
menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata :
“Inilah sang ibu dalam cerita tadi.”
Dan mempersilakan sang ibu
tersebut yang sangat luar biasa untuk naik keatas mimbar. Anak dari sang
ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan melihat gurunya
menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang anakun saling
bertatapan. Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada anaknya.
Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan berkata:
“Oh Mamaku………………”
Betapa indahnya jika kita bisa melakukan hal
yang baik pada saat kita sebenarnya menderita. kisah d atas sangat
menyetuh dengan perjuangan seorang ibu yang rela melakukan apapun juga
demi sang anak meski dirinya menderita. pada masa-masa ini, jarang
sekali kita menemukan pengorbanan demikian. Bahkan tidak sedikit di saat
menderita kita malah ingin di perhatikan bukan memperhatikan kepada
orang yg kita cintai. semoga dengan kisah ini bisa membuat kita
berkorban pada saat kita mengalami penderitaan,pergumulan dan
sebagainya. Sebab, sesungguhnya orang yang bersemangat dapat menanggung
penderitaannya. Jadi, berikan dorongan semangat buat sesama karena
semangat dapat memacu orang untuk terus maju
Tuhan Yesus memberkati kita semua
Amen
Kamis, 25 Oktober 2012
CERPEN | KISAH TOMBOY DAN PESAWAT KERTAS - Bag. 3
06.58
1 comment
Ketika Tomboy pulang ke rumah Bapa…
Dua tahun…
“Aaaaaargggghh!!! Gue kesiangaaan!!!” Aku melompat dari tempat tidur dan menyambar handuk dari punggung kursi. Aku mandi secepat kilat dan mengunyah roti isi selai coklat sambil mengikat tali sepatu. Kunyalakan mesin motor dan bergegas berangkat ke kampus menemui Dosen pembimbing untuk mendiskusikan skripsiku. Headset terpasang dengan lagu praise and worship. Dalam hati aku berjanji akan mengganti saat teduh yang terlewat karena bangun kesiangan dengan doa malam yang lebih panjang dan mesra dari biasanya.
Lumayan, bimbingan kali ini berjalan cukup baik. Walaupun ada revisi di sana sini, aku sudah bisa membayangkan diriku dengan toga di atas podium. Sangat menyenangkan!! Aku yakin, Desember ini aku akan menjadi Sarjana Ekonomi. Bangganya!
Kubelokkan motorku ke komplek pemakaman. Aku menyusuri Blok E dan melewati berbagai bunga warna-warni. Pemakaman kini seperti taman bunga, kupikir bagus juga untuk syuting. Seikat mawar merah kutaruh di atas nisan yang berukir tinta berwarna emas. Matahari tepat di atas kepalaku, keringat berkerumun di leher seperti semut yang berkumpul di atas meja yang tertumpah gula. Kutaburkan potongan daun pandan di atas batu berbentuk salib. Air mineral yang ada di tas, kutuang di atas nisan sambil membelai nama yang berwarna emas, ‘Ribka Syalomita’.
Ya, benar. Tomboy sudah pulang ke rumah Bapa. Dan ya, benar. Aku hancur. Saat itu, adalah waktu dengan rekor air mata terbanyak yang tumpah dari mataku. Dua hari dari tiga hari sebelum kepulangan Tomboy ke rumah Bapa, ia tidak mau tidur. Tomboy benar-benar tidak tidur selama dua hari. Dokter bilang hal itu sering terjadi pada pasien yang mengalami detik-detik terakhir di bumi. Mungkin saja Tomboy takut. Ketika ia menutup mata, ia takut tidak dapat membuka matanya lagi. Entah, aku tidak pernah menanyakannya pada Tomboy dan tidak pernah mau menanyakannya. Hingga malam terakhir ia tidur, ternyata ia dapat membuka matanya lagi. Kulihat senyum kecil di bibirnya. Sepertinya ia siap. Siap untuk pulang…
Tomboy telah tiada pada minggu keempat Desember, beberapa hari setelah Natal. Cuaca saat itu sedang sangat dingin. Kami bahkan tidak dapat melalui tahun yang baru bersama. Hanya tinggal sedikit lagi tahun yang baru akan datang, namun Tomboy rupanya memang sudah harus pulang. Beberapa hari setelah itu, Mama berkali-kali pingsan. Aku sendiri mengurung diri di kamar, meninju-ninju bantal sambil menjerit tertahan, “kenapa?!! Kenapa, Tuhan?!!” Tuhan tidak langsung menjawab pertanyaanku dengan suara yang menggema di dinding kamar, suara yang membuat rumahku goyang dan api muncul berkobar di depan mataku. Tapi ia menjawabku secara perlahan-lahan. Lewat waktu, sahabat, Pendeta, keluarga, lewat lagu-lagu pujian, lewat Alkitab, Firman-Nya yang agung. Aku tahu, ia memiliki segalanya. Namun aku pura-pura tidak tahu, bahwa Ia juga memiliki hidup keluargaku. Aku sangat kecewa. Apa salah Tomboy? Apa salahku? Bukankah sangat mudah bagi-Nya untuk menyembuhkan sakit seseorang? Orang yang sakit kusta, yang lumpuh, yang kemasukan setan, yang buta, bahkan yang mati dapat dibangkitkan-Nya. Apakah itu cuma sekedar dongeng dari sebuah buku berjudul Alkitab? Mengapa harus Tomboy? Mengapa bukannya seseorang yang sangat jahat, yang bebal, yang bahkan tidak pernah menyebut nama-Nya?
Segunung pertanyaan berdesing dalam kepalaku. Aku menolak untuk dihibur, aku menolak semua kata-kata manis. Aku bahkan tidak mau mendengar kata-kata terakhir yang ditinggalkan Tomboy padaku dalam sebuah surat berwarna biru muda. Tidak pula dengan perbincangan (yang lebih tepat disebut pertengkaran) antara aku dengan Michael, dua bulan setelah Tomboy berpulang.
“Apa kabar, Ndrew?” Michael memulai pembicaraan. Kami duduk berdampingan di teras rumahku. Jarak kami hanya dipisahkan oleh meja teras.
“Biasa aja.” Aku menjawab singkat.
“Sibuk apa sekarang?” Michael mulai bertanya lagi.
“Gini-gini aja”. Aku menjawab sekenanya. Tidak berniat sama sekali untuk bertanya macam-macam pada Michael. Aku cuma ingin ia cepat-cepat pergi.
“Om sama Tante, apa kabar?” Tanyanya lagi.
“Baik. Semua sehat, cukup makan, ga kurang gizi. So, ada perlu apa?” Aku benar-benar ingin menyelesaikan pembicaraan ini.
Michael diam sejenak, lalu berkata, “lu kemana aja, Ndrew? Kok ga komsel lagi?”
“Ga kemana-mana.”
“Terus, kenapa ga komsel?”
“Ga kenapa-kenapa.”
“Ndrew…”
“Gue ga kenapa-kenapa! Jangan sok peduli!” Tanpa sadar, aku mulai membentak.
“Bukan sok. Gue bener-bener peduli. Anak-anak komsel peduli sama lu.”
Aku hanya tersenyum sinis.
“Ribka udah tenang bersama Bapa. Ikhlaskanlah…” Michael melanjutkan kata-katanya dengan tenang. Benar-benar terdengar tulus.
“Ga bisa. Selamanya gue ga ikhlas!” Aku kembali membentak.
“Ndrew… Ribka udah…”
Aku memotong cepat kata-katanya. Sambil berdiri aku berkata dengan marah, “lu semua ga ngerti. Ga ada yang ngerti! Bahkan Penguasa Alam Semesta pun enggak!!”
Michael juga berdiri dan mukanya sedikit memerah. Ia berkata lagi, “lu bilang gitu karna lu nutup hati lu. Yesus tuh sayang dengan…”
“Aaah!!” Aku kembali memotong kata-katanya. “Lu tau? Cuma Tomboy satu-satunya yang bikin gue betah di rumah. Cuma dia yang bikin gue seneng. Dan cuma dia satu-satunya ade gue!! Kenapa Tuhan masih ngambil yang jadi satu-satunya buat gue?”
“Lu udah buta! Lu diperdaya, tau?!” Aku melanjutkan, “Kalo Yesus sayang sama gue, keluarga gue, sama Tomboy, kenapa Dia harus ambil Tomboy?”
“Mungkin gue buta.” Michael berkata dengan emosi yang tertahan. Ia melanjutkan, “Tapi bahkan gue yang buta masih bisa melihat kebaikan Yesus yang luar biasa buat keluarga lu.”
Aku diam. Napasku tak beraturan. Aku seperti pelari yang kelelahan setelah berlari begitu jauh. Aku tidak dapat mengatakan perasaanku dengan siapa pun. Yang selalu kulakukan hanya berteriak kecewa di dalam hati, dengan pintu kamar yang terkunci.
“Kalo Ribka ada di sini, dia pasti nangis ngeliat lu. Thx God, Ribka udah tenang bersama Bapa. Gue ga bisa ngeliat dia dengan hati yang hancur, karna lu, abangnya yang tersayang, melupakan Tuhan yang membuat Ribka berubah sampai napas terakhirnya. Tuhan yang membuat Ribka menemukan arti hidup yang sebenarnya.” Michael segera pergi dan menyalakan mesin motornya. Hatiku kembali nyeri.
Aku tetap bertahan dengan kekecewaan dan amarahku. Namun aku tidak tahan untuk terus cemberut dan mengutuk setiap hal yang ada di sekelilingku. Aku mulai tersenyum, tertawa, walaupun sebelumnya aku tidak pernah berpikir dapat tertawa lagi. Bumi tetap berputar pada porosnya, matahari masih terbit di timur dan tenggelam di seberangnya. Masih ada semilir angin, masih ada gerimis yang memberi teduh di sore hari. Tak dapat dipungkiri, semua hal indah masih terus ada walau aku harus mengalami kehilangan yang sangat perih. Hari-hari berlalu dan Tuhan bukan hanya menunjukkan kasih-Nya dengan cara yang luar biasa, tapi juga melalui hal yang sederhana. Ia bukan hanya memberikan orang-orang terbaik dalam hidupku, namun Ia juga membentukku menjadi pribadi yang baik bagi orang-orang di sekitarku. Sahabat-sahabatku di komsel selalu menghiburku dan keluargaku. Kata-kata Michael yang saat itu terasa pahit, kini menjadi kata-kata yang sangat membangun. Aku mulai merasakan kembali cinta mula-mula pada Yesus.
Memang, saat itu aku tidak dapat melihat kemuliaan Tuhan. Namun, saat ini aku mengalami langsung kemuliaan-Nya yang Ia nyatakan dalam keluargaku. Ingat komitmenku untuk melayani-Nya bila Tomboy sembuh? Aku pernah membuang komitmen itu jauh dari hidupku. Karena toh, aku kan berjanji dengan syarat Tomboy harus sembuh. Seperti biasa, Tuhan tidak pernah tingal diam. Ia tidak ingin kehilanganku, lagi! Ia menangkapku!
Tahun pertama setelah Tomboy tiada, menjadi hari-hari yang berat dalam hidupku. Aku tetap dibimbing oleh kakak rohani dan mengikuti ibadah dengan hati yang baru. Dua bulan ini aku mulai melayani sebagai pemain musik di komsel dan Ibadah pemuda. Aku akan menjadi sarjana, dan sudah satu bulan ini aku dan Via sedang mendoakan hubungan kami untuk menjadi sepasang kekasih. Tomboy memang sudah tiada, namun ia tetap hidup di hatiku. Aku tidak lagi mengenangnya dengan sedih dan kecewa, namun aku mengenangnya dengan senyum dan ucapan syukur. Aku bersungguh-sungguh.
Tidak perlu lagi aku bertanya-tanya, “kenapa?” Yang harus kutanyakan adalah, “untuk apa?” Ya, untuk apa Tuhan merancangkan ini dalam hidupku? Firman-Nya yang selalu kupercaya, bahwa semuanya untuk mendatangkan kebaikan. Bila aku punya waktu untuk mempertanyakan kebesaran dan rancangan Tuhan sang pemilik alam semesta dengan pertanyaan yang memusingkan, mengapa aku tidak punya waktu untuk mengenal Dia lebih dekat? Untuk melayani Dia lebih sungguh lagi? Karena hidup Tomboy, hidupku dan keluargaku adalah milik-Nya, mengapa harus marah bila Ia ingin Tomboy lebih dulu pulang kepada-Nya?
Aku tidak akan lupa. Ketika Tomboy berubah, adalah awal yang juga menjadi perubahanku. Tomboy mengenalkanku pada kebaikan Yesus, ia mengajakku ke komsel dan aku sangat bersyukur karenanya. Perubahannya adalah salah satu keajaiban dunia yang kuteguhkan dalam hatiku, dan perubahanku adalah keajaiban pula yang terjadi karena keajaiban sebelumnya. Yesus yang membuat keajaiban itu, tak berhenti membuat keajaiban lainnya saat itu datang… Ya, ketika Tomboy sakit. Berjuta rasa menusuk-nusuk hari-hari kami. Dengan doa yang tak putusnya, dan harapan yang tiada lelahnya kami naikkan. Yesus tetap menjaga kami. Dan tiba juga, ketika Tomboy berpulang ke rumah Bapa. Ah, inilah masa yang paling menyedihkan. Namun di sinilah aku benar-benar melihat kebaikan Tuhan. Sepertinya Ia mengambil yang menjadi satu-satunya dalam hidupku, tanpa sebelumnya kusadari, yang benar-benar menjadi satu-satunya dalam hidupku hanyalah Yesus. Ketika Tomboy menjadi adikku, hidupku sangat menyenangkan. Sekarang pun aku tetap merasa senang, karena untuk selamanya, Tomboy tetap adikku.
“Tunggu. Tunggu bentar, Boy. Disini gue lagi berdoa dan berusaha keras supaya keluarga kita bener-bener mengenal Yesus. Seperti Yesus yang ngubahin lu, Yesus yang ngubahin gue, Yesus juga yang pasti ngubahin keluarga kita.”
Dua kata terakhir yang aku bisikkan pada telinga Tomboy saat ia akan pulang ke rumah Bapa. Aku yakin Tomboy dengar, karena ia tersenyum setelah dua kata ini kuucapkan, “makasih, adikku.”
Epilog:
Dear: Abang Andrew Syalomino. Si Oncom sejati.
Apa skarang udah tahun baru? Maaf, kalo gue ga bisa bertahan sampe kembang api tahun baru. Kalo gue bisa bertahan, maaf juga karna lu gak bisa ngeliat kembang api karna nemenin gue.
Bang, jangan marah kalo seandainya gue pulang duluan ke rumah Bapa. Jangan iri yaa!! Haha… Bila saatnya gue pergi, gue gak pergi dengan nyesel karna gue akhirnya bisa bener-bener bersyukur karna punya keluarga seperti kalian, karna gue punya punya elu, bang.
Apa lu masih bertanya-tanya kenapa gue yang jago silat ini bisa pake rok? Bukan, ini bukan karna Bang Michael. Ini karna Yesus. Sebelumya, gue belajar silat, gue panjat tebing, loncat-loncat maen basket, itu semua karena gue gak betah di rumah. Gue pengen bebas, gue pengen dihargai. Mama sama Papa berantem terus, gue gak pernah dipuji sebagai anak yang nyenengin mereka. Mau tau bang? Gue gak pernah suka silat, gue gak suka panas-panasan manjat tebing, gue gak suka rantai-rantai di pinggang celana gue, gue gak suka semua itu! Tapi gue harus jadi seseorang yang gak gue suka supaya gue dihargai orang lain, supaya gue merasa diterima. Tapi sejak gue kenal Yesus, gue gak perlu lagi jadi orang lain. Gue bisa pakai baju yang gue suka, gue bisa menikmati hari-hari gue dalam persekutuan. Kenyataannya, Yesus cinta sama gue, dan itu lebih dari cukup. Cuma Yesus satu-satunya yang bisa bikin gue jadi perempuan yang seutuhnya ^^
Doakan keluarga kita ya bang, supaya bisa bener-bener menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Lu harus janji, lu harus jadi sarjana. Banyak doa, tobat kau, sebentar lagi akhir zaman. Titip salam buat Bang Michael, si ganteng itu. Hehe… Thx for all, bang ^^.
Always love you, abangku.
Tomboy
Tamat...
Dua tahun…
“Aaaaaargggghh!!! Gue kesiangaaan!!!” Aku melompat dari tempat tidur dan menyambar handuk dari punggung kursi. Aku mandi secepat kilat dan mengunyah roti isi selai coklat sambil mengikat tali sepatu. Kunyalakan mesin motor dan bergegas berangkat ke kampus menemui Dosen pembimbing untuk mendiskusikan skripsiku. Headset terpasang dengan lagu praise and worship. Dalam hati aku berjanji akan mengganti saat teduh yang terlewat karena bangun kesiangan dengan doa malam yang lebih panjang dan mesra dari biasanya.
Lumayan, bimbingan kali ini berjalan cukup baik. Walaupun ada revisi di sana sini, aku sudah bisa membayangkan diriku dengan toga di atas podium. Sangat menyenangkan!! Aku yakin, Desember ini aku akan menjadi Sarjana Ekonomi. Bangganya!
Kubelokkan motorku ke komplek pemakaman. Aku menyusuri Blok E dan melewati berbagai bunga warna-warni. Pemakaman kini seperti taman bunga, kupikir bagus juga untuk syuting. Seikat mawar merah kutaruh di atas nisan yang berukir tinta berwarna emas. Matahari tepat di atas kepalaku, keringat berkerumun di leher seperti semut yang berkumpul di atas meja yang tertumpah gula. Kutaburkan potongan daun pandan di atas batu berbentuk salib. Air mineral yang ada di tas, kutuang di atas nisan sambil membelai nama yang berwarna emas, ‘Ribka Syalomita’.
Ya, benar. Tomboy sudah pulang ke rumah Bapa. Dan ya, benar. Aku hancur. Saat itu, adalah waktu dengan rekor air mata terbanyak yang tumpah dari mataku. Dua hari dari tiga hari sebelum kepulangan Tomboy ke rumah Bapa, ia tidak mau tidur. Tomboy benar-benar tidak tidur selama dua hari. Dokter bilang hal itu sering terjadi pada pasien yang mengalami detik-detik terakhir di bumi. Mungkin saja Tomboy takut. Ketika ia menutup mata, ia takut tidak dapat membuka matanya lagi. Entah, aku tidak pernah menanyakannya pada Tomboy dan tidak pernah mau menanyakannya. Hingga malam terakhir ia tidur, ternyata ia dapat membuka matanya lagi. Kulihat senyum kecil di bibirnya. Sepertinya ia siap. Siap untuk pulang…
Tomboy telah tiada pada minggu keempat Desember, beberapa hari setelah Natal. Cuaca saat itu sedang sangat dingin. Kami bahkan tidak dapat melalui tahun yang baru bersama. Hanya tinggal sedikit lagi tahun yang baru akan datang, namun Tomboy rupanya memang sudah harus pulang. Beberapa hari setelah itu, Mama berkali-kali pingsan. Aku sendiri mengurung diri di kamar, meninju-ninju bantal sambil menjerit tertahan, “kenapa?!! Kenapa, Tuhan?!!” Tuhan tidak langsung menjawab pertanyaanku dengan suara yang menggema di dinding kamar, suara yang membuat rumahku goyang dan api muncul berkobar di depan mataku. Tapi ia menjawabku secara perlahan-lahan. Lewat waktu, sahabat, Pendeta, keluarga, lewat lagu-lagu pujian, lewat Alkitab, Firman-Nya yang agung. Aku tahu, ia memiliki segalanya. Namun aku pura-pura tidak tahu, bahwa Ia juga memiliki hidup keluargaku. Aku sangat kecewa. Apa salah Tomboy? Apa salahku? Bukankah sangat mudah bagi-Nya untuk menyembuhkan sakit seseorang? Orang yang sakit kusta, yang lumpuh, yang kemasukan setan, yang buta, bahkan yang mati dapat dibangkitkan-Nya. Apakah itu cuma sekedar dongeng dari sebuah buku berjudul Alkitab? Mengapa harus Tomboy? Mengapa bukannya seseorang yang sangat jahat, yang bebal, yang bahkan tidak pernah menyebut nama-Nya?
Segunung pertanyaan berdesing dalam kepalaku. Aku menolak untuk dihibur, aku menolak semua kata-kata manis. Aku bahkan tidak mau mendengar kata-kata terakhir yang ditinggalkan Tomboy padaku dalam sebuah surat berwarna biru muda. Tidak pula dengan perbincangan (yang lebih tepat disebut pertengkaran) antara aku dengan Michael, dua bulan setelah Tomboy berpulang.
“Apa kabar, Ndrew?” Michael memulai pembicaraan. Kami duduk berdampingan di teras rumahku. Jarak kami hanya dipisahkan oleh meja teras.
“Biasa aja.” Aku menjawab singkat.
“Sibuk apa sekarang?” Michael mulai bertanya lagi.
“Gini-gini aja”. Aku menjawab sekenanya. Tidak berniat sama sekali untuk bertanya macam-macam pada Michael. Aku cuma ingin ia cepat-cepat pergi.
“Om sama Tante, apa kabar?” Tanyanya lagi.
“Baik. Semua sehat, cukup makan, ga kurang gizi. So, ada perlu apa?” Aku benar-benar ingin menyelesaikan pembicaraan ini.
Michael diam sejenak, lalu berkata, “lu kemana aja, Ndrew? Kok ga komsel lagi?”
“Ga kemana-mana.”
“Terus, kenapa ga komsel?”
“Ga kenapa-kenapa.”
“Ndrew…”
“Gue ga kenapa-kenapa! Jangan sok peduli!” Tanpa sadar, aku mulai membentak.
“Bukan sok. Gue bener-bener peduli. Anak-anak komsel peduli sama lu.”
Aku hanya tersenyum sinis.
“Ribka udah tenang bersama Bapa. Ikhlaskanlah…” Michael melanjutkan kata-katanya dengan tenang. Benar-benar terdengar tulus.
“Ga bisa. Selamanya gue ga ikhlas!” Aku kembali membentak.
“Ndrew… Ribka udah…”
Aku memotong cepat kata-katanya. Sambil berdiri aku berkata dengan marah, “lu semua ga ngerti. Ga ada yang ngerti! Bahkan Penguasa Alam Semesta pun enggak!!”
Michael juga berdiri dan mukanya sedikit memerah. Ia berkata lagi, “lu bilang gitu karna lu nutup hati lu. Yesus tuh sayang dengan…”
“Aaah!!” Aku kembali memotong kata-katanya. “Lu tau? Cuma Tomboy satu-satunya yang bikin gue betah di rumah. Cuma dia yang bikin gue seneng. Dan cuma dia satu-satunya ade gue!! Kenapa Tuhan masih ngambil yang jadi satu-satunya buat gue?”
“Lu udah buta! Lu diperdaya, tau?!” Aku melanjutkan, “Kalo Yesus sayang sama gue, keluarga gue, sama Tomboy, kenapa Dia harus ambil Tomboy?”
“Mungkin gue buta.” Michael berkata dengan emosi yang tertahan. Ia melanjutkan, “Tapi bahkan gue yang buta masih bisa melihat kebaikan Yesus yang luar biasa buat keluarga lu.”
Aku diam. Napasku tak beraturan. Aku seperti pelari yang kelelahan setelah berlari begitu jauh. Aku tidak dapat mengatakan perasaanku dengan siapa pun. Yang selalu kulakukan hanya berteriak kecewa di dalam hati, dengan pintu kamar yang terkunci.
“Kalo Ribka ada di sini, dia pasti nangis ngeliat lu. Thx God, Ribka udah tenang bersama Bapa. Gue ga bisa ngeliat dia dengan hati yang hancur, karna lu, abangnya yang tersayang, melupakan Tuhan yang membuat Ribka berubah sampai napas terakhirnya. Tuhan yang membuat Ribka menemukan arti hidup yang sebenarnya.” Michael segera pergi dan menyalakan mesin motornya. Hatiku kembali nyeri.
Aku tetap bertahan dengan kekecewaan dan amarahku. Namun aku tidak tahan untuk terus cemberut dan mengutuk setiap hal yang ada di sekelilingku. Aku mulai tersenyum, tertawa, walaupun sebelumnya aku tidak pernah berpikir dapat tertawa lagi. Bumi tetap berputar pada porosnya, matahari masih terbit di timur dan tenggelam di seberangnya. Masih ada semilir angin, masih ada gerimis yang memberi teduh di sore hari. Tak dapat dipungkiri, semua hal indah masih terus ada walau aku harus mengalami kehilangan yang sangat perih. Hari-hari berlalu dan Tuhan bukan hanya menunjukkan kasih-Nya dengan cara yang luar biasa, tapi juga melalui hal yang sederhana. Ia bukan hanya memberikan orang-orang terbaik dalam hidupku, namun Ia juga membentukku menjadi pribadi yang baik bagi orang-orang di sekitarku. Sahabat-sahabatku di komsel selalu menghiburku dan keluargaku. Kata-kata Michael yang saat itu terasa pahit, kini menjadi kata-kata yang sangat membangun. Aku mulai merasakan kembali cinta mula-mula pada Yesus.
Memang, saat itu aku tidak dapat melihat kemuliaan Tuhan. Namun, saat ini aku mengalami langsung kemuliaan-Nya yang Ia nyatakan dalam keluargaku. Ingat komitmenku untuk melayani-Nya bila Tomboy sembuh? Aku pernah membuang komitmen itu jauh dari hidupku. Karena toh, aku kan berjanji dengan syarat Tomboy harus sembuh. Seperti biasa, Tuhan tidak pernah tingal diam. Ia tidak ingin kehilanganku, lagi! Ia menangkapku!
Tahun pertama setelah Tomboy tiada, menjadi hari-hari yang berat dalam hidupku. Aku tetap dibimbing oleh kakak rohani dan mengikuti ibadah dengan hati yang baru. Dua bulan ini aku mulai melayani sebagai pemain musik di komsel dan Ibadah pemuda. Aku akan menjadi sarjana, dan sudah satu bulan ini aku dan Via sedang mendoakan hubungan kami untuk menjadi sepasang kekasih. Tomboy memang sudah tiada, namun ia tetap hidup di hatiku. Aku tidak lagi mengenangnya dengan sedih dan kecewa, namun aku mengenangnya dengan senyum dan ucapan syukur. Aku bersungguh-sungguh.
Tidak perlu lagi aku bertanya-tanya, “kenapa?” Yang harus kutanyakan adalah, “untuk apa?” Ya, untuk apa Tuhan merancangkan ini dalam hidupku? Firman-Nya yang selalu kupercaya, bahwa semuanya untuk mendatangkan kebaikan. Bila aku punya waktu untuk mempertanyakan kebesaran dan rancangan Tuhan sang pemilik alam semesta dengan pertanyaan yang memusingkan, mengapa aku tidak punya waktu untuk mengenal Dia lebih dekat? Untuk melayani Dia lebih sungguh lagi? Karena hidup Tomboy, hidupku dan keluargaku adalah milik-Nya, mengapa harus marah bila Ia ingin Tomboy lebih dulu pulang kepada-Nya?
Aku tidak akan lupa. Ketika Tomboy berubah, adalah awal yang juga menjadi perubahanku. Tomboy mengenalkanku pada kebaikan Yesus, ia mengajakku ke komsel dan aku sangat bersyukur karenanya. Perubahannya adalah salah satu keajaiban dunia yang kuteguhkan dalam hatiku, dan perubahanku adalah keajaiban pula yang terjadi karena keajaiban sebelumnya. Yesus yang membuat keajaiban itu, tak berhenti membuat keajaiban lainnya saat itu datang… Ya, ketika Tomboy sakit. Berjuta rasa menusuk-nusuk hari-hari kami. Dengan doa yang tak putusnya, dan harapan yang tiada lelahnya kami naikkan. Yesus tetap menjaga kami. Dan tiba juga, ketika Tomboy berpulang ke rumah Bapa. Ah, inilah masa yang paling menyedihkan. Namun di sinilah aku benar-benar melihat kebaikan Tuhan. Sepertinya Ia mengambil yang menjadi satu-satunya dalam hidupku, tanpa sebelumnya kusadari, yang benar-benar menjadi satu-satunya dalam hidupku hanyalah Yesus. Ketika Tomboy menjadi adikku, hidupku sangat menyenangkan. Sekarang pun aku tetap merasa senang, karena untuk selamanya, Tomboy tetap adikku.
“Tunggu. Tunggu bentar, Boy. Disini gue lagi berdoa dan berusaha keras supaya keluarga kita bener-bener mengenal Yesus. Seperti Yesus yang ngubahin lu, Yesus yang ngubahin gue, Yesus juga yang pasti ngubahin keluarga kita.”
Dua kata terakhir yang aku bisikkan pada telinga Tomboy saat ia akan pulang ke rumah Bapa. Aku yakin Tomboy dengar, karena ia tersenyum setelah dua kata ini kuucapkan, “makasih, adikku.”
Epilog:
Dear: Abang Andrew Syalomino. Si Oncom sejati.
Apa skarang udah tahun baru? Maaf, kalo gue ga bisa bertahan sampe kembang api tahun baru. Kalo gue bisa bertahan, maaf juga karna lu gak bisa ngeliat kembang api karna nemenin gue.
Bang, jangan marah kalo seandainya gue pulang duluan ke rumah Bapa. Jangan iri yaa!! Haha… Bila saatnya gue pergi, gue gak pergi dengan nyesel karna gue akhirnya bisa bener-bener bersyukur karna punya keluarga seperti kalian, karna gue punya punya elu, bang.
Apa lu masih bertanya-tanya kenapa gue yang jago silat ini bisa pake rok? Bukan, ini bukan karna Bang Michael. Ini karna Yesus. Sebelumya, gue belajar silat, gue panjat tebing, loncat-loncat maen basket, itu semua karena gue gak betah di rumah. Gue pengen bebas, gue pengen dihargai. Mama sama Papa berantem terus, gue gak pernah dipuji sebagai anak yang nyenengin mereka. Mau tau bang? Gue gak pernah suka silat, gue gak suka panas-panasan manjat tebing, gue gak suka rantai-rantai di pinggang celana gue, gue gak suka semua itu! Tapi gue harus jadi seseorang yang gak gue suka supaya gue dihargai orang lain, supaya gue merasa diterima. Tapi sejak gue kenal Yesus, gue gak perlu lagi jadi orang lain. Gue bisa pakai baju yang gue suka, gue bisa menikmati hari-hari gue dalam persekutuan. Kenyataannya, Yesus cinta sama gue, dan itu lebih dari cukup. Cuma Yesus satu-satunya yang bisa bikin gue jadi perempuan yang seutuhnya ^^
Doakan keluarga kita ya bang, supaya bisa bener-bener menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Lu harus janji, lu harus jadi sarjana. Banyak doa, tobat kau, sebentar lagi akhir zaman. Titip salam buat Bang Michael, si ganteng itu. Hehe… Thx for all, bang ^^.
Always love you, abangku.
Tomboy
Tamat...
CERPEN | KISAH TOMBOY DAN PESAWAT KERTAS - Bag. 2
06.57
No comments
Ketika Tomboy sakit…
“Tomboy sakit kanker.” Mama menangis histeris saat mengatakan tiga kata itu di depan kamar Tomboy di RSCM. Aku bengong, tidak bisa menyerap dengan sempurna tiga kata singkat itu. Sampai kurasakan lututku lemas dan tidak dapat menahan bobotku hingga aku terjongkok. Dan kurasakan air mata hangat mengalir membasahi kerah kemejaku.
Memang sudah sebulan ini Tomboy terlihat pucat. Ia tidak nafsu makan dan terlihat sakit. Kami pikir Tomboy hanya pilek, ia memang mudah terserang pilek. Dua minggu yang lalu Tomboy mimisan, kami pikir ini hal biasa karena toh ia sering juga mimisan. Beberapa hari setelahnya, Tomboy mimisan lagi dan lagi, darah mengucur bagai air kran wastafel. Muncul bintik-bintik merah pada tangannya dan ia demam tinggi. Kami membawanya ke dokter keluarga, namun tiba-tiba saja Tomboy dirujuk ke RSCM dan menjalani serangakaian tes darah dan sebagainya sampai berita ini sampai ke telinga kami.
Mama, Papa, dan aku duduk di ruangan dr.Martin, mendengar sang dokter memaparkan hasil tes. Tomboy mengidap kanker darah yang juga dikenal sebagai leukimia. Kanker ini menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang. Normalnya, tubuh manusia akan memberikan tanda secara teratur tentang waktunya sel darah direproduksi kembali. Pada leukimia, sel darah putih tidak merespon tanda itu, sehingga produksi sel darah putih tidak terkontrol atau abnormal. Dokter masih menjelaskan panjang lebar tentang leukimia, baik dugaan penyebab penyakit seperti radiasi, herediter, beberapa nama virus yang sulit kutangkap, juga langkah pengobatan dengan chemotherapy, transplantasi sumsum tulang, tranfusi darah dan sebagainya. Aku berusaha mendengarkan setiap kata dari dokter, namun yang jelas ku dengar hanyalah isak tangis Mama dan desahan napas Papa. Kepalaku tertunduk, lututku gemetar. Kurasakan keringat membanjiri tengkukku di ruangan ber-AC ini. Aku coba untuk tetap mendengar dokter, dan aku menyesal telah berusaha sekuat tenaga mendengar bahwa kemungkinan Tomboy mengidap leukemia akut yang ditandai dengan perjalanan penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan memburuk. Aku merasa pusing. Kursiku seperti bergoyang dan aku ingin muntah. Kudekap dadaku erat, berusaha menenangkan jantung yang seperti ingin melompat keluar dari tubuhku. Pandanganku kabur, dan air mataku mengalir lagi.
Aku duduk menghadap Tomboy. Kulihat garis nyata berupa tulang yang menonjol pada pipi dan rahangnya. Lalu matanya terbuka.
“Udah bangun, Boy? Ih, elap tuh iler lu”. Kataku sembari mengernyitkan hidung. Tomboy mengusap ujung bibirnya sambil nyengir lebar.
“Gue udah tau bang. Gue paksa Papa cerita”. Kami terdiam, cukup lama hingga suara, “tik… Tik… Tik…” dari jam dinding terdengar begitu nyaring.
“Bang.”
“Ya?” Aku menjawab pelan.
Lama kami kembali terdiam sampai Tomboy berkata, “gue takut… gue takut bang.” Suara Tomboy begitu pelan hingga terdengar seperti desahan. Kulihat airmatanya turun membasahi punggung tangannya. Aku mendekat dan kuangkat kedua tanganku untuk memeluknya, suatu hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Kurasakan tubuhnya bergetar, airmatanya membasahi pundakku. Tubuhnya begitu kecil, aku seperti memeluk rangka manusia. Kubelai rambutnya, dan kuhirup aroma shampoo lidah buaya favoritnya.
“Gue takuut… Gue… Gue… Takut bang…” Isakan tomboy semakin keras, aku memeluknya kian erat. Tak ada kata yang keluar dari mulut kami, hanya air mata yang menganak sungai.
***
Aku duduk di tempat tidur Tomboy. Kuambil bantal guling butut yang sudah dipakainya sejak kelas dua SD. Kuraih foto berbingkai hitam di atas rak, foto setelah kami bermain basket di Senayan. Aaah… Rumah sepi sekali tanpa Tomboy. Sudah sebulan sejak ia masuk rumah sakit. Tomboy yang cerewet, yang berlari kian kemari di dalam dan luar rumah persis seperti kancil di cerita anak-anak, Tomboy yang bersabuk hitam, kini tertidur di kamar rumah sakit dengan pakaian tidur bergaris biru. Kupeluk bantal guling Tomboy, dan kuucapkan doa yang selalu kuutarakan, pagi, siang, sore, malam, di mobil, di kamar, di kampus, bahkan di meja makan.
“Tuhan, aku janji enggak bakal berantem sama Tomboy lagi, aku bakal selesein kuliahku yang udah kegantung dua tahun, aku udah mutusin Chika dan Meyla dan janji gak bakal selingkuh lagi, aku udah bakar semua majalah dan dvd porno yang aku punya. Aku juga bakal melayani-Mu, jadi pemain musik di gereja, di komsel, aku bakal sering amal ke panti asuhan. So, please God, please, tolong sembuhin Tomboy. Kau harapanku satu-satunya. Thx God, dalam nama Yesus, amin.”
***
“Hai Ribka. Gimana, udah baikan?” Michael muncul di pintu.
“Ha… Hai bang!! Wah, tum.. Tumben dateng sendiri. Masuk, bang.” Tomboy segera duduk tegak di atas tempat tidurnya. Tangannya menyisir poninya yang berantakan. Matanya mendelik padaku dengan tatapan “kok-gak-bilang-bang-Michael-mau-dateng!!” Aku tersenyum geli.
Aku pamit keluar untuk menebus obat. Tomboy menyatukan kedua telapak tangannya sebagai simbol terima kasih karena aku membiarkan mereka mengobrol di kamar tanpaku. Sekilas aku melihat mata Tomboy berkaca-kaca saat Michael menaruh seikat bunga mawar merah di dalam vas berisi air. Bunga mawar merah yang kuberikan pada Michael, yang susah payah kurayu agar mau menjenguk Tomboy tanpa teman-teman komsel. Aku tahu ini salah. Tapi apapun akan kulakukan untuk membuat Tomboy senang. Apapun itu…
Tiga minggu setelah Tomboy pulang dari Singapura, kesehatan Tomboy tak juga membaik. Ia kerap kali muntah darah. Chemotherapy yang dijalaninya serasa tak membantu. Setiap kali ia muntah darah, jantungku selalu ingin melompat keluar. Kerongkonganku serasa basah oleh darah. Suatu kali saat Mama mengambil kelopak mawar di rambut Tomboy, kelopak itu terambil bersama segenggam penuh rambut Tomboy. Itulah sebabnya Tomboy memakai topi.
Di waktu yang lain, gantungan handphone-ku menggelinding ke bawah tempat tidurnya. Dan disana aku menemukan beberapa butir obat.
“Apaan nih?” Kataku sambil menunjukkan beberapa obat di genggamanku ke depan hidung Tomboy. Ia hanya tertunduk.
“Jawab.” Kataku dengan nada menahan marah. Tomboy tetap diam. Ia juga mulai ketakutan.
“JAWAAAAB!!! Aku membentak sambil melempar obat dalam genggamanku ke lantai. Tomboy mulai terisak dan meringkuk di atas tempat tidurnya. Aku membanting tempat minum plastik dengan erangan yang tertahan dalam kerongkongan, hingga aku terdengar seperti anjing yang ekornya terjepit, erangan marah sekaligus menyakitkan.
“Gampang banget lu ya buang-buang obat!! Lu ga tau nih obat mahal?!!" Bukan-bukan ini yang mau aku katakan.
“Susah-susah Papa masukin lu ke rumah sakit, ga tau terima kasih!!” Tidak. Bukan. Tidak kata-kata ini yang ingin aku katakan. Sementara itu Tomboy terisak semakin keras.
“Gue… Gu…Gue…” Aku berkata sambil menarik napas tertahan.
“GUE GA PENGEN LU MATIII!!!!” Ya, inilah yang ingin sekali aku katakan.
Aku segera keluar kamar dan jongkok di depan pintu kamarnya. Dapat kudengar jelas tangisan Tomboy. Tangis yang tidak ingin aku dengar, yang membelah hatiku menjadi sayatan-sayatan kecil. Aku tak peduli dengan orang yang lalu-lalang. Aku sama sekali tak peduli bahkan ketika air mataku jatuh, lagi dan lagi.
Aku bisa terima, saat belalang tempurku harus dijual dan kini aku memakai motor biasa. Aku juga terima, ketika Papa cerita tentang biaya yang sangat besar untuk pengobatan Tomboy. Aku tahan dengan Mama yang selalu menangis di depan mataku. Namun yang tidak bisa kuterima adalah Tomboy yang terbaring sakit. Yang seringkali kudapati menangis diam-diam di atas tempat tidurnya. Tomboy yang minum berpuluh-puluh tablet obat setiap hari. Semuanya terasa sangat menggangu sekaligus menyakitkan. Semuanya tidak masuk akal, ini terasa tidak benar.
Di kamarku, aku duduk dengan Alkitab yang tertutup di pangkuanku. Tak ada ayat yang terbaca malam ini. Aku memejamkan mataku dan mulai mengadu, “Tuhan, aku ga pernah semerana ini. Saat aku bangun, aku takut hari ini akan berjalan tanpa Tomboy. Aku takut nerima telepon dari Mama dan Papa untuk kabar yang selamanya ga ingin aku denger. Tidurku ga nyenyak, makan apapun ga terasa enak. Rasanya aku bakal mati duluan dibanding Tomboy karena ketakutanku. Aku rela, rela Tuhan… Menukar hidupku untuk hidup Tomboy. Kau satu-satunya harapan kami. Tolong, jangan Tuhan, jangan biarkan Tomboy menutup mata sebelum mataku tertutup. Kumohon… Kumohon…”
***
Kami duduk menempel di atas tempat tidur dengan kitab Mazmur yang terbuka di pangkuanku. Seperti yang seringkali kami lakukan, bersamaan kami membaca Mazmur favorit kami,
Mazmur 46:2-4
Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya.
“Bang, kalo udah sembuh, gue mau ke Yerusalem.” Tomboy memulai pembicaraan. Cengirannya lebar dan jahil. Aku mengacak rambutnya perlahan.
“Iya, nanti kita juga poto-poto ke Betlehem, terus kita juga main air di sungai Yordan, ngerujak di Kanaan. Makanya lu cepetan sembuh.”
Tomboy mengangguk pelan. Kurasakan semangat yang meluap dari hatinya menular ke hatiku. Kurasa, Tomboy akan segera sembuh. Terngiang kembali Mazmur favorit kami, “Allah itu tempat perlindungan dan kekuatan, penolong dalam kesesakan. Sebab itu kita tidak akan takut…” Ya, kita tidak perlu takut.
***
Tangan kami saling menggenggam. Papa memimpin doa pagi kami, yang dimulai dengan lagu, ‘selamat pagi, Bapa’ dan tetap dengan pokok doa, yakni kesembuhan Tomboy. Doa pagi bersama rutin kami lakukan semenjak Tomboy masuk RS. Semenjak itu pula, Banyak sekali yang ikut mendoakan keluarga kami dan Tomboy. Para Pendeta dari gereja Papa maupun dari gereja aku dan Tomboy (Papa dan kami sudah berbeda gereja), juga pemuda-remaja sering datang untuk mendoakan, menyemangati, dan menghibur kami. Bagus juga aku dan Papa berbeda gereja, makin banyak yang datang berdoa, makin baik kan? Sudah begini banyak yang berdoa, enggak mungkin Tuhan tak mendengar. Ia pasti mengabulkan doa kami, Tomboy akan sembuh.
Aku dan Tomboy duduk di dekat jendela kamarnya di lantai atas. Aku menatapnya dengan senyum simpul. Dagunya tegas dan lancip, matanya bulat dengan bola mata hitam yang polos dan selalu ingin tahu. Kantong hitam besar dan tebal menggantung di bawah kelopak matanya. Tulang pipinya semakin menonjol, membentuk garis yang semakin hari semakin nyata. Kepalanya tak berambut. Kulit yang mati mengering di bibir kecilnya. Lalu Tomboy menangkap tatapanku dan mulai mengajukan pertanyaan.
“Kenapa ngeliatin gue? Gue cantik banget ya? Hahaha…” Katanya lemah dengan tawa yang pelan.
Aku menjulurkan lidah dan mengeluarkan suara seperti orang muntah. Tomboy kembali tertawa.
“Iya, lu cantik.” Kataku bersungguh-sungguh. Tomboy membelalak tak percaya. Aku melanjutkan, “kalo diliat dari Monas pake sedotan Aqua.” Tomboy cemberut.
“Woooo… Ngambek nii yee.” Aku berusaha menggodanya. Bibir Tomboy bertambah manyun.
Aku menyentuh dagu tomboy. Kubelai lembut pipinya dengan punggung tanganku. Kucubit pelan hidung mancungnya. Matanya menatap mataku. Aku tersenyum tulus.
“Lu adalah wanita tercantik di seluruh dunia, yang pernah gue liat sumur idup gue.” Kata-kata itu meluncur mulus dari bibirku. Tomboy kembali membelalak tak percaya. Ia menunggu, kalau-kalau itu hanya gurauanku. Tapi aku tidak berkata apa-apa lagi. Tomboy menunduk.
“Lebih cantik dari Via?” Tanyanya.
“Iya lah. Lebih cantik juga dari Angelina Jolie, Dewi Persik, Mpok Nori, dari semua-semuanya deh.” Aku berkata dengan sangat yakin. Tomboy tertawa senang. Aku tidak bergurau. Tomboy adalah wanita tercantik di seluruh dunia, yang pernah kulihat seumur hidupku. Bahkan dengan tulang yang menonjol, kantung mata hitam yang menggantung, kepala tanpa rambut, kulit mati di bibirnya, dan penyakit yang menggerogoti tubuh dan hatinya, ia tetap wanita yang tercantik di seluruh dunia, dalam hidup dan hatiku.
Selanjutnya kami sibuk melipat-lipat kertas berwarna biru muda, warna yang kini menjadi kesukaan Tomboy semenjak Michael datang membawakan topi biru muda. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah kami dengan lembut. Setelah kami selesai membuat pesawat kertas, kami menerbangkannya ke luar jendela. Pesawat kertas itu jatuh menukik ke kepala dokter yang botak. Dokter itu berputar-putar mencari penerbang pesawat sambil memaki-maki. Kami bersembunyi di bawah jendela sambil tertawa histeris. Di dalam pesawat kertas, kami menulis doa dan harapan terbesar kami, “Tomboy and Oncom goes to Jerusalem.”
***
Gerimis turun membasahi rumput hijau yang segar, yang terpotong dengan sangat rapi. Wangi bunga mawar dan potongan daun pandan bercampur dengan aroma tanah basah yang menyeruak ke tiap hidung para pengunjung makam. Matahari sore tidak nampak karena awan yang muram. Para wanita dan pria berbaju hitam menangis terisak. Peti diturunkan, mawar ditabur, daun pandan di tebar, air mata mengalir. Lagu puji-pujian di naikkan dengan sedih. Aku duduk di bawah pohon beringin, jauh dari kerumunan. Melipat kertas biru muda menjadi pesawat kertas…
Bersambung ...
“Tomboy sakit kanker.” Mama menangis histeris saat mengatakan tiga kata itu di depan kamar Tomboy di RSCM. Aku bengong, tidak bisa menyerap dengan sempurna tiga kata singkat itu. Sampai kurasakan lututku lemas dan tidak dapat menahan bobotku hingga aku terjongkok. Dan kurasakan air mata hangat mengalir membasahi kerah kemejaku.
Memang sudah sebulan ini Tomboy terlihat pucat. Ia tidak nafsu makan dan terlihat sakit. Kami pikir Tomboy hanya pilek, ia memang mudah terserang pilek. Dua minggu yang lalu Tomboy mimisan, kami pikir ini hal biasa karena toh ia sering juga mimisan. Beberapa hari setelahnya, Tomboy mimisan lagi dan lagi, darah mengucur bagai air kran wastafel. Muncul bintik-bintik merah pada tangannya dan ia demam tinggi. Kami membawanya ke dokter keluarga, namun tiba-tiba saja Tomboy dirujuk ke RSCM dan menjalani serangakaian tes darah dan sebagainya sampai berita ini sampai ke telinga kami.
Mama, Papa, dan aku duduk di ruangan dr.Martin, mendengar sang dokter memaparkan hasil tes. Tomboy mengidap kanker darah yang juga dikenal sebagai leukimia. Kanker ini menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang. Normalnya, tubuh manusia akan memberikan tanda secara teratur tentang waktunya sel darah direproduksi kembali. Pada leukimia, sel darah putih tidak merespon tanda itu, sehingga produksi sel darah putih tidak terkontrol atau abnormal. Dokter masih menjelaskan panjang lebar tentang leukimia, baik dugaan penyebab penyakit seperti radiasi, herediter, beberapa nama virus yang sulit kutangkap, juga langkah pengobatan dengan chemotherapy, transplantasi sumsum tulang, tranfusi darah dan sebagainya. Aku berusaha mendengarkan setiap kata dari dokter, namun yang jelas ku dengar hanyalah isak tangis Mama dan desahan napas Papa. Kepalaku tertunduk, lututku gemetar. Kurasakan keringat membanjiri tengkukku di ruangan ber-AC ini. Aku coba untuk tetap mendengar dokter, dan aku menyesal telah berusaha sekuat tenaga mendengar bahwa kemungkinan Tomboy mengidap leukemia akut yang ditandai dengan perjalanan penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan memburuk. Aku merasa pusing. Kursiku seperti bergoyang dan aku ingin muntah. Kudekap dadaku erat, berusaha menenangkan jantung yang seperti ingin melompat keluar dari tubuhku. Pandanganku kabur, dan air mataku mengalir lagi.
Aku duduk menghadap Tomboy. Kulihat garis nyata berupa tulang yang menonjol pada pipi dan rahangnya. Lalu matanya terbuka.
“Udah bangun, Boy? Ih, elap tuh iler lu”. Kataku sembari mengernyitkan hidung. Tomboy mengusap ujung bibirnya sambil nyengir lebar.
“Gue udah tau bang. Gue paksa Papa cerita”. Kami terdiam, cukup lama hingga suara, “tik… Tik… Tik…” dari jam dinding terdengar begitu nyaring.
“Bang.”
“Ya?” Aku menjawab pelan.
Lama kami kembali terdiam sampai Tomboy berkata, “gue takut… gue takut bang.” Suara Tomboy begitu pelan hingga terdengar seperti desahan. Kulihat airmatanya turun membasahi punggung tangannya. Aku mendekat dan kuangkat kedua tanganku untuk memeluknya, suatu hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Kurasakan tubuhnya bergetar, airmatanya membasahi pundakku. Tubuhnya begitu kecil, aku seperti memeluk rangka manusia. Kubelai rambutnya, dan kuhirup aroma shampoo lidah buaya favoritnya.
“Gue takuut… Gue… Gue… Takut bang…” Isakan tomboy semakin keras, aku memeluknya kian erat. Tak ada kata yang keluar dari mulut kami, hanya air mata yang menganak sungai.
***
Aku duduk di tempat tidur Tomboy. Kuambil bantal guling butut yang sudah dipakainya sejak kelas dua SD. Kuraih foto berbingkai hitam di atas rak, foto setelah kami bermain basket di Senayan. Aaah… Rumah sepi sekali tanpa Tomboy. Sudah sebulan sejak ia masuk rumah sakit. Tomboy yang cerewet, yang berlari kian kemari di dalam dan luar rumah persis seperti kancil di cerita anak-anak, Tomboy yang bersabuk hitam, kini tertidur di kamar rumah sakit dengan pakaian tidur bergaris biru. Kupeluk bantal guling Tomboy, dan kuucapkan doa yang selalu kuutarakan, pagi, siang, sore, malam, di mobil, di kamar, di kampus, bahkan di meja makan.
“Tuhan, aku janji enggak bakal berantem sama Tomboy lagi, aku bakal selesein kuliahku yang udah kegantung dua tahun, aku udah mutusin Chika dan Meyla dan janji gak bakal selingkuh lagi, aku udah bakar semua majalah dan dvd porno yang aku punya. Aku juga bakal melayani-Mu, jadi pemain musik di gereja, di komsel, aku bakal sering amal ke panti asuhan. So, please God, please, tolong sembuhin Tomboy. Kau harapanku satu-satunya. Thx God, dalam nama Yesus, amin.”
***
“Hai Ribka. Gimana, udah baikan?” Michael muncul di pintu.
“Ha… Hai bang!! Wah, tum.. Tumben dateng sendiri. Masuk, bang.” Tomboy segera duduk tegak di atas tempat tidurnya. Tangannya menyisir poninya yang berantakan. Matanya mendelik padaku dengan tatapan “kok-gak-bilang-bang-Michael-mau-dateng!!” Aku tersenyum geli.
Aku pamit keluar untuk menebus obat. Tomboy menyatukan kedua telapak tangannya sebagai simbol terima kasih karena aku membiarkan mereka mengobrol di kamar tanpaku. Sekilas aku melihat mata Tomboy berkaca-kaca saat Michael menaruh seikat bunga mawar merah di dalam vas berisi air. Bunga mawar merah yang kuberikan pada Michael, yang susah payah kurayu agar mau menjenguk Tomboy tanpa teman-teman komsel. Aku tahu ini salah. Tapi apapun akan kulakukan untuk membuat Tomboy senang. Apapun itu…
Tiga minggu setelah Tomboy pulang dari Singapura, kesehatan Tomboy tak juga membaik. Ia kerap kali muntah darah. Chemotherapy yang dijalaninya serasa tak membantu. Setiap kali ia muntah darah, jantungku selalu ingin melompat keluar. Kerongkonganku serasa basah oleh darah. Suatu kali saat Mama mengambil kelopak mawar di rambut Tomboy, kelopak itu terambil bersama segenggam penuh rambut Tomboy. Itulah sebabnya Tomboy memakai topi.
Di waktu yang lain, gantungan handphone-ku menggelinding ke bawah tempat tidurnya. Dan disana aku menemukan beberapa butir obat.
“Apaan nih?” Kataku sambil menunjukkan beberapa obat di genggamanku ke depan hidung Tomboy. Ia hanya tertunduk.
“Jawab.” Kataku dengan nada menahan marah. Tomboy tetap diam. Ia juga mulai ketakutan.
“JAWAAAAB!!! Aku membentak sambil melempar obat dalam genggamanku ke lantai. Tomboy mulai terisak dan meringkuk di atas tempat tidurnya. Aku membanting tempat minum plastik dengan erangan yang tertahan dalam kerongkongan, hingga aku terdengar seperti anjing yang ekornya terjepit, erangan marah sekaligus menyakitkan.
“Gampang banget lu ya buang-buang obat!! Lu ga tau nih obat mahal?!!" Bukan-bukan ini yang mau aku katakan.
“Susah-susah Papa masukin lu ke rumah sakit, ga tau terima kasih!!” Tidak. Bukan. Tidak kata-kata ini yang ingin aku katakan. Sementara itu Tomboy terisak semakin keras.
“Gue… Gu…Gue…” Aku berkata sambil menarik napas tertahan.
“GUE GA PENGEN LU MATIII!!!!” Ya, inilah yang ingin sekali aku katakan.
Aku segera keluar kamar dan jongkok di depan pintu kamarnya. Dapat kudengar jelas tangisan Tomboy. Tangis yang tidak ingin aku dengar, yang membelah hatiku menjadi sayatan-sayatan kecil. Aku tak peduli dengan orang yang lalu-lalang. Aku sama sekali tak peduli bahkan ketika air mataku jatuh, lagi dan lagi.
Aku bisa terima, saat belalang tempurku harus dijual dan kini aku memakai motor biasa. Aku juga terima, ketika Papa cerita tentang biaya yang sangat besar untuk pengobatan Tomboy. Aku tahan dengan Mama yang selalu menangis di depan mataku. Namun yang tidak bisa kuterima adalah Tomboy yang terbaring sakit. Yang seringkali kudapati menangis diam-diam di atas tempat tidurnya. Tomboy yang minum berpuluh-puluh tablet obat setiap hari. Semuanya terasa sangat menggangu sekaligus menyakitkan. Semuanya tidak masuk akal, ini terasa tidak benar.
Di kamarku, aku duduk dengan Alkitab yang tertutup di pangkuanku. Tak ada ayat yang terbaca malam ini. Aku memejamkan mataku dan mulai mengadu, “Tuhan, aku ga pernah semerana ini. Saat aku bangun, aku takut hari ini akan berjalan tanpa Tomboy. Aku takut nerima telepon dari Mama dan Papa untuk kabar yang selamanya ga ingin aku denger. Tidurku ga nyenyak, makan apapun ga terasa enak. Rasanya aku bakal mati duluan dibanding Tomboy karena ketakutanku. Aku rela, rela Tuhan… Menukar hidupku untuk hidup Tomboy. Kau satu-satunya harapan kami. Tolong, jangan Tuhan, jangan biarkan Tomboy menutup mata sebelum mataku tertutup. Kumohon… Kumohon…”
***
Kami duduk menempel di atas tempat tidur dengan kitab Mazmur yang terbuka di pangkuanku. Seperti yang seringkali kami lakukan, bersamaan kami membaca Mazmur favorit kami,
Mazmur 46:2-4
Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya.
“Bang, kalo udah sembuh, gue mau ke Yerusalem.” Tomboy memulai pembicaraan. Cengirannya lebar dan jahil. Aku mengacak rambutnya perlahan.
“Iya, nanti kita juga poto-poto ke Betlehem, terus kita juga main air di sungai Yordan, ngerujak di Kanaan. Makanya lu cepetan sembuh.”
Tomboy mengangguk pelan. Kurasakan semangat yang meluap dari hatinya menular ke hatiku. Kurasa, Tomboy akan segera sembuh. Terngiang kembali Mazmur favorit kami, “Allah itu tempat perlindungan dan kekuatan, penolong dalam kesesakan. Sebab itu kita tidak akan takut…” Ya, kita tidak perlu takut.
***
Tangan kami saling menggenggam. Papa memimpin doa pagi kami, yang dimulai dengan lagu, ‘selamat pagi, Bapa’ dan tetap dengan pokok doa, yakni kesembuhan Tomboy. Doa pagi bersama rutin kami lakukan semenjak Tomboy masuk RS. Semenjak itu pula, Banyak sekali yang ikut mendoakan keluarga kami dan Tomboy. Para Pendeta dari gereja Papa maupun dari gereja aku dan Tomboy (Papa dan kami sudah berbeda gereja), juga pemuda-remaja sering datang untuk mendoakan, menyemangati, dan menghibur kami. Bagus juga aku dan Papa berbeda gereja, makin banyak yang datang berdoa, makin baik kan? Sudah begini banyak yang berdoa, enggak mungkin Tuhan tak mendengar. Ia pasti mengabulkan doa kami, Tomboy akan sembuh.
Aku dan Tomboy duduk di dekat jendela kamarnya di lantai atas. Aku menatapnya dengan senyum simpul. Dagunya tegas dan lancip, matanya bulat dengan bola mata hitam yang polos dan selalu ingin tahu. Kantong hitam besar dan tebal menggantung di bawah kelopak matanya. Tulang pipinya semakin menonjol, membentuk garis yang semakin hari semakin nyata. Kepalanya tak berambut. Kulit yang mati mengering di bibir kecilnya. Lalu Tomboy menangkap tatapanku dan mulai mengajukan pertanyaan.
“Kenapa ngeliatin gue? Gue cantik banget ya? Hahaha…” Katanya lemah dengan tawa yang pelan.
Aku menjulurkan lidah dan mengeluarkan suara seperti orang muntah. Tomboy kembali tertawa.
“Iya, lu cantik.” Kataku bersungguh-sungguh. Tomboy membelalak tak percaya. Aku melanjutkan, “kalo diliat dari Monas pake sedotan Aqua.” Tomboy cemberut.
“Woooo… Ngambek nii yee.” Aku berusaha menggodanya. Bibir Tomboy bertambah manyun.
Aku menyentuh dagu tomboy. Kubelai lembut pipinya dengan punggung tanganku. Kucubit pelan hidung mancungnya. Matanya menatap mataku. Aku tersenyum tulus.
“Lu adalah wanita tercantik di seluruh dunia, yang pernah gue liat sumur idup gue.” Kata-kata itu meluncur mulus dari bibirku. Tomboy kembali membelalak tak percaya. Ia menunggu, kalau-kalau itu hanya gurauanku. Tapi aku tidak berkata apa-apa lagi. Tomboy menunduk.
“Lebih cantik dari Via?” Tanyanya.
“Iya lah. Lebih cantik juga dari Angelina Jolie, Dewi Persik, Mpok Nori, dari semua-semuanya deh.” Aku berkata dengan sangat yakin. Tomboy tertawa senang. Aku tidak bergurau. Tomboy adalah wanita tercantik di seluruh dunia, yang pernah kulihat seumur hidupku. Bahkan dengan tulang yang menonjol, kantung mata hitam yang menggantung, kepala tanpa rambut, kulit mati di bibirnya, dan penyakit yang menggerogoti tubuh dan hatinya, ia tetap wanita yang tercantik di seluruh dunia, dalam hidup dan hatiku.
Selanjutnya kami sibuk melipat-lipat kertas berwarna biru muda, warna yang kini menjadi kesukaan Tomboy semenjak Michael datang membawakan topi biru muda. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah kami dengan lembut. Setelah kami selesai membuat pesawat kertas, kami menerbangkannya ke luar jendela. Pesawat kertas itu jatuh menukik ke kepala dokter yang botak. Dokter itu berputar-putar mencari penerbang pesawat sambil memaki-maki. Kami bersembunyi di bawah jendela sambil tertawa histeris. Di dalam pesawat kertas, kami menulis doa dan harapan terbesar kami, “Tomboy and Oncom goes to Jerusalem.”
***
Gerimis turun membasahi rumput hijau yang segar, yang terpotong dengan sangat rapi. Wangi bunga mawar dan potongan daun pandan bercampur dengan aroma tanah basah yang menyeruak ke tiap hidung para pengunjung makam. Matahari sore tidak nampak karena awan yang muram. Para wanita dan pria berbaju hitam menangis terisak. Peti diturunkan, mawar ditabur, daun pandan di tebar, air mata mengalir. Lagu puji-pujian di naikkan dengan sedih. Aku duduk di bawah pohon beringin, jauh dari kerumunan. Melipat kertas biru muda menjadi pesawat kertas…
Bersambung ...
Langganan:
Postingan (Atom)