01.19

Seorang
gadis muda tumbuh di perkebunan ceri tidak jauh dari Traverse City,
Michigan. Orang tuanya sedikit kolot, cenderung bereaksi berlebihan pada
cincin di hidungnya, musik yang ia dengarkan dan panjang roknya. Mereka
menghukumnya beberapa kali, dan ia memendam kejengkelan dalam hati.
“Saya benci Ayah!”, teriaknya ketika ayahnya mengetuk pintu kamarnya
setelah sebuah pertengkaran, dan malam itu ia menjalankan rencana yang
sudah ia pikirkan puluhan kali. Ia melarikan diri. Ia baru sekali ke
Detroit sebelumnya, dalam perjalanan dengan bis bersama kelompok remaja
gerejanya untuk menyaksikan permainan tim Tigers. Karena surat kabar di
Traverse City sering memberitakan tentang geng, obat terlarang, dan
kekerasan di pusat kota Detroit dengan sangat rinci, ia menyimpulkan
pasti orang tuanya tidak akan mencarinya ke sana. California mungkin,
atau Florida, tapi tidak Detroit.
Pada hari kedua ia di sana,
ia bertemu seorang pria yang mengemudikan mobil paling besar yang pernah
dilihatnya. Pria itu menawarkan untuk mengantarnya, membelikan makan
siang, dan mengatur agar ia punya tempat tinggal. Ia memberi gadis ini
beberapa pil yang membuatnya belum pernah merasa seenak ini. Ternyata
selama ini ia memang benar, pikir gadis itu: orangtuanya melarangnya
menikmati segala kesenangan.
Kehidupan menyenangkan berlanjut satu
bulan, dua bulan, setahun. Orang bermobil besar itu, ia memanggilnya
BOS, mengajarinya beberapa hal yang disukai pria. Karena ia masih di
bawah umur, pria membayar mahal untuknya. Ia tinggal di apartemen mewah,
dan bisa memesan layanan kamar kapan saja. Sesekali ia teringat pada
orang-orang di kampung halamannya, tapi hidup mereka sekarang tampak
sangat membosankan dan kampungan sampai ia hampir tidak percaya ia
tumbuh besar di sana. Ia sedikit takut ketika melihat fotonya di
belakang kemasan susu dengan judul besar, “Apakah Anda pernah melihat
anak ini?”.
Tapi sekarang rambutnya sudah pirang, dan dengan semua
riasan wajah dan perhiasan yang ia kenakan, tidak akan ada yang
menyangka ia masih anak-anak. Lagipula, kebanyakan temannya adalah
remaja yang melarikan diri, dan tidak ada yang berkhianat di Detroit.
Setelah setahun, tanda-tanda samar penyakit mulai muncul, dan ia
terkejut melihat betapa cepat bosnya menjadi kejam.
“Jaman sekarang
kita tidak bisa main-main,” geramnya, dan tiba-tiba saja, ia sudah
berada di jalanan tanpa uang di kantungnya. Ia masih melakukan
"pekerjaannya" beberapa kali semalam, tapi bayaran mereka kecil, dan
semua uang itu habis untuk membiayai kecanduannya. Ketika musim dingin
tiba, ia menemukan dirinya tidur di pagar logam di depan pusat
pertokoan.
Suatu malam ia berbaring tanpa bisa tidur, sambil
mendengarkan langkah kaki, tiba-tiaba seluruh kehidupannya tampak
berbeda. Ia tidak lagi merasa menjadi wanita hebat. Ia merasa seperti
anak kecil, tersesat di kota yang dingin dan menakutkan. Ia mulai
menggigil. Kantungnya kosong dan ia lapar. Ia juga perlu obat terlarang.
Ia melipat kakinya, dan gemetar di bawah lembaran surat kabar yang
ditumpuk di atas mantelnya.
Sesuatu muncul begitu saja di
pikirannya, dan satu gambaran terbayang di matanya: bulan Mei di
Traverse City, ketika jutaan pohon ceri berbuah bersamaan, ia berlarian
bersama anjing golden retriever miliknya. Mengejar bola tenis di antara
barisan pohon berbunga. Tuhan, mengapa aku pergi, katanya dalam hati,
dan rasa perih menghunjam jantungnya. Anjingku saja di rumah makan lebih
enak daripada aku sekarang. Ia menangis, dan dalam sekejap ia tahu
tidak ada yag lebih ia inginkan di dunia kecuali pulang. Tiga sambungan
telepon, tiga kali dijawab mesin panjawab. Ia menutup telepon tanpa
meninggalkan pesan dua kali pertama, tapi ketiga kalinya ia berkata,
“Ayah, Ibu, ini aku. Aku berpikir mungkin aku akan pulang. Aku akan naik
bis ke sana, dan aku akan sampai sekitar tengah malam besok. Kalau Ayah
dan Ibu tidak datang, yah, mungkin aku akan terus naik bis sampai ke
Kanada”.
Dibutuhkan waktu sekitar tujuh jam dengan bis dari Detroit
ke Traverse City, dan sepanjang jalan ia menyadari cacat-cacat dalam
rencananya. Bagaimana kalau orangtuanya sedang keluar kota dan
melewatkan pesan itu? Bukankah seharusnya ia menunggu satu dua hari
sampai bisa berbicara langsung dengan mereka? Dan kalaupun mereka ada di
rumah, mungkin mereka sudah lama menganggapnya mati. Seharusnya ia
memberi waktu agar mereka bisa mengatasi rasa kagetnya. Pikirannya
bolak-balik antara rasa khawatir dan kata-kata yang disusun untuk
menyapa ayahnya.
“Ayah, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Bukan salah Ayah, semuanya salahku. Ayah, bisakah Ayah memaafkan aku?”
Ia mengucapkan pikiran itu berulang-ulang dalam hati, kerongkongannya
tercekat bahkan ketika melatihnya. Sudah bertahun-tahun ia tidak minta
maaf pada siapapun. Bis melaju dengan lampu menyala sejak Bay City.
Butiran kecil salju yang berjatuhan di trotoar terlindas ribuan ban, dan
aspal beruap. Ia lupa segelap apa malam hari disini. Seekor rusa
berlari menyeberang jalan dan bis menghindarinya. Sesekali, ada
billboard. Tanda yang menunjukkan jaraknya ke Traverse City. Ya, Tuhan.
Ketika bis akhirnya berbelok ke stasiun, rem udaranya mendesis
memprotes, pengemudi mengumumkan dengan suara serak lewat mikrofon.
“Lima belas menit, saudara-saudara. Kita hanya berhenti selama itu di sini.”
Lima belas menit untuk memutuskan hidupnya. Ia memeriksa dirinya di
cermin lipat, merapikan rambutnya, dan menjilat lipstik dari giginya. Ia
melihat noda tembakau di ujung-ujung jarinya dan berpikir apakah
orangtuanya akan melihatnya. Kalau mereka datang. Ia berjalan ke dalam
terminal. Tidak tahu harus mengharapkan apa. Tidak satu pun dari adegan
yang ia siapakan di pikirannya bisa mempersiapkannya untuk apa yang
dilihatnya. Di sana, di atas kursi-kursi plastik terminal bis Traverse
City, Michigan, berdiri sekitar empat puluh saudara, paman, bibi,
sepupu, nenek, nenek buyut. Mereka semua memakai topi kertas pesta dan
gulungan kertas yang bisa ditiup, dan di dinding terminal ditempel
spanduk yang dibuat dengan komputer bertuliskan, “Selamat pulang
kembali!”
Di tengah kerumunan penyambut, muncul ayahnya. Ia
memandang dengan mata perih dengan air mata sepanas air raksa, dan
memulai sapaan yang sudah dihafalkan, “Yah, aku minta maaf. Aku
tahu....Aku”
Ayahnya memotong. “Sst, Nak. Kita tidak punya waktu
untuk itu. Tidak punya waktu untuk permintaan maaf. Kau akan terlambat
ke pesta. Sebuah jamuan menunggumu di rumah.”
Amen
Catatan
Kisah aku minta maaf ayah yang ke 4 ini kisah terakhir dari, "aku minta maaf,ayah"
kisah yang terakhir ini memberikan suatu ajaran bagi kita sebagai
seorang anak untuk berani bertanggung jawab dengan apa yang telah kita
perbuat. Jangan pernah kita angap ayah yang kita takuti itu akan
membunuh kita saat melakukan kesalahan. Namun, ada sisi lain juga dengan
kasih seorang ayah yang bisa memaafkan apa yang anaknya perbuat meski
itu sangat fatal. Dan Demikian juga bagi yang menjadi seorang ayah.
Miliki hati yang mengasihi sebagai seorang ayah yang mw memaafkan
anaknya, meski ia keterlaluan melakukan kesalahan. Semoga kisah di atas
bisa membuka hati kita untuk berani meminta maaf dan berani juga untuk
memaafkan.
Di bulan Desember kelak akan menceritakan KEBESARAN
SEORANG IBU. Nantikan bulan depan dengan kisah kasih seorang ibu
terhadap anak dan suaminya.
Tuhan Yesus Memberkati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar